Tetua Bali sering bercerita tentang menyatunya alam kecil (bhuwana alit) dengan alam besar (bhuwana agung). Alam besar tentu saja terlalu rumit. Di awal abad ke 20, dunia fisika bersama Newton dkk pernah menduga kalau teka-teki tentang alam semesta akan terjawab semuanya tidak lama lagi. Akan tetapi, tidak lama kemudian tatkala lahir pendekatan quantum mechanics (mekanika kuantum), optimisme ini bubar. Alam besar masih menyisakan teka-teki besar yang tidak bisa dijawab.
Oleh karena itu, mari melihat alam kecil yang kerap disebut diri kita sendiri. Bagian dari diri kita yang paling mudah untuk didiskusikan adalah tubuh. Di Tantra sudah banyak yang melihat dan mengalami, tubuh manusia menyimpan banyak sekali rahasia indah tentang perjalanan jiwa. Coba perhatikan bagian atas dan bagian bawah tubuh manusia.
Makanya di jalan jhnana (pengetahuan), ada yang menyebut konsep Tuhan sebagai hukum (God as a law). Inilah salah satu hukumnya. Jangankan saat tidak lahir Avatara, Buddha dan Nabi, bahkan saat lahir Avatara pun orang-orang menjengkelkan lahir. Di zamannya Sang Rama, penggodanya bernama Rahwana. Di zamannya Shri Krisna, penggodanya bernama Duryodana, di zamannya GA Buddha penggodanya bernama Dewadatta. Hal yang sama terjadi saat Nabi lain lahir.
Ringkasnya, mirip dengan aliran malam dan siang, alam kecil dan alam besar keduanya mengalir. Makanan enak di hari ini, sebagian jadi kotoran besok pagi. Pujian orang di hari tertentu bisa jadi sumber makian di hari lain. Anak yang penurut di sebuah tahun, bisa jadi anak pembangkang di tahun yang lain. Begitulah hukumnya. Ciri dominan jiwa-jiwa menderita adalah serakah memilih yang baik di atas yang buruk, memegang yang benar di atas yang salah, menggenggam kesucian menendang kekotoran. Sebagai akibatnya, energi di dalam jadi gagal mengalir. Ia sesederhana manusia yang makan banyak di hari ini, tapi di hari berikutnya tidak buang air besar.
Inilah awal banyak sekali penyakit dan rasa sakit. Kegantengan suami diterima, kemarahannya ditolak habis-habisan. Kecantikan istri didekap, cerewetnya diancam cerai. Kepintaran anak dibanggakan, kenakalannya disembunyikan. Banyak orang hanya mau kaya, tapi tidak mau konsekuensi negatif yang muncul sebagai akibat berlimpahnya kekayaan. Sekali lagi, inilah awal banyak penyakit dan rasa sakit. Sekaligus inilah bentuk energi yang gagal mengalir.
Sebagaimana sudah diulas secara berulang-ulang di buku sederhana ini dari pintu depan, pada kelompok tulisan yang berjudul tirtha kesembuhan maupun tirtha kedamaian, meditasi tidak pernah lelah mengundang para pencari spiritual untuk selalu kembali ke rumus sederhana tapi mendasar ini yakni: “terima, mengalir, senyum”.
Melalui pendekatan terima, mengalir, senyum, seseorang tidak saja membebaskan penghalang energi di dalam untuk mengalir kembali, tetapi juga membuat jiwa memasuki gerbang ke-u- Tuhan. Di zaman dulu sekali, saat zaman masih sangat kacau, liar dan barbar, Tuhan sering digambarkan dengan wajah yang marah lengkap dengan dosa dan nerakanya.
Di zaman ini, menggambar wajah Tuhan yang pemarah tidak saja menyuburkan tumbuhnya kelompok ateis, tetapi juga membuat anak-anak muda menjauh dari sumber mata air jernih bernama agama dan spiritualitas. Itu sebabnya, sejumlah Guru spiritual dengan pencapaian spiritual mengagumkan di zaman ini senang sekali berbagi cerita tentang ke-u-Tuhan.
Dalam bahasa yang ringkas namun padat, orang jahat lahir untuk membuat orang baik terlihat lebih baik, kesedihan adalah kekuatan di alam yang membuat kebahagiaan terasa jauh lebih dalam, dukacita adalah tangisan yang membuat nyanyian sukacita jauh lebih bercahaya. Itulah yang disebut dengan ke-u-Tuhan.
Sebuah kekuatan yang membuat energi di dalam mengalir kembali. Begitu energi-energi di dalam mengalir kembali secara alami, di sana kesembuhan dan kedamaian akan hadir secara asri. Pada saat yang sama, banyak kecelakaan kehidupan seperti bunuh diri, penyakit menakutkan seperti HIV bisa dihindari dan dikurangi. Sejujurnya, inilah bunga indah meditasi. Tempat sucinya bisa di mana saja, cara berdoanya bisa seperti apa saja, upacaranya bisa menggunakan tradisi apa saja, saran buku sederhana ini cuma satu: “lakukan semuanya dengan spirit ke-u-Tuhan”. Selamat datang di rumah jiwa-jiwa yang indah.
-Gede Prama, Menemukan Tirtha di Dalam Diri