Senin, 24 Desember 2018

SENYUMAN PALING INDAH

“Bila tidak melaksanakan vegetarian, apakah meditasinya akan terganggu?”, demikian seorang anak muda bertanya. Tidak makan daging tentu saja baik. Terutama karena mengurangi rasa bersalah yang timbul di dalam hati. Tapi yang lebih baik lagi adalah vegetarian di dalam pikiran (baca: pikiran yang tidak menghakimi). Terlalu banyak sahabat yang mulutnya vegetarian, tapi pikirannya tidak vegetarian. Sebagai akibatnya, perjalanan meditasinya penuh dengan halangan.

Ini yang dialami oleh dua orang murid zen yang meditasinya sulit bertumbuh. Suatu hari dua murid ini melihat bendera sedang bergerak. Yang pertama menyebutkan kalau yang bergerak adalah benderanya. Yang kedua menyimpulkan kalau yang bergerak adalah anginnya. Maka ramelah perdebatan diantara mereka berdua. Bendera-angin, angin-bendera, dst. Di tengah perdebatan yang memanas, tiba-tiba Guru mereka datang. Tatkala ditanya yang benar yang mana, Gurunya kemudian menjawab: “yang bergerak adalah pikiran kalian”. Inilah ciri pikiran yang tidak vegetarian, selalu bergerak lengkap dengan dialog dan perdebatan di dalam. Ujungnya mudah ditebak, kedamaian menjauh.

Berbeda dengan perguruan tinggi di mana logika yang kuat diberi nilai tinggi, di jalan meditasi logika yang terlalu kuat adalah serangkaian penghalang yang mengkhawatirkan. Dalam bahasa yang indah: “logika adalah tongkat bagi jiwa-jiwa yang pincang, serta beban berat bagi jiwa-jiwa yang sudah terbang”.

Itu sebabnya meditasi tekun sekali memberitahu untuk melewati logika, terutama dengan cara menyaksikan. “Perhatikan pikiran sebagai pikiran, bukan sebagai kebenaran, begitulah cara meditasi membebaskan banyak sekali jiwa”, demikian sering terdengar di sesi-sesi meditasi.

Tidak saja logika dilampaui, rasa juga dilampaui. Rasa sedih dilewati, rasa senang juga dilewati. Sampai suatu hari mengalami, semuanya hanya gelombang-gelombang di permukaan. Dan meditasi tidak menyarankan Anda menjadi gelombang, melainkan kembali ke rumah abadi bernama samudra.

Di rumah abadi bernama samudra inilah kemudian seseorang bisa melihat secara jernih dan bersih perjalanan dari tubuh personal ke tubuh interpersonal, kemudian istirahat indah di tubuh kosmik. Di tubuh personal, seseorang mengira tubuh fisiklah diri mereka. Di tubuh interpersonal, seseorang rindu pengakuan, kebersamaan. Dan hanya di tubuh kosmik (baca: alam dan kehidupan) kemudian jiwa bisa melampaui logika dan rasa. Kalau logika adalah tongkat bagi jiwa-jiwa yang pincang, rasa adalah perahu bagi jiwa-jiwa yang belum pulang. Keduanya hanya kendaraan-kendaraan sementara. Dan sesampai di rumah (home), kehidupan berubah wajah menjadi serangkaian senyuman. Masa lalu membawa senyuman, masa depan menjanjikan senyuman, masa kini penuh senyuman. Diantara semua senyuman, yang terindah adalah keheningan yang melahirkan cinta.

-Gede Prama, Menemukan Tirtha di Dalam Diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yoga-Kundalini Upanishad Bab III

1. Melana-Mantra: Hrim, Bham, Sam, Pam, Pham, Sam, Ksham. Kelahiran teratai (Brahma) berkata: “O Shankara, (di antara) bulan baru (hari pert...