Mengejar kekuasaan, kedudukan, otoritas, ambisi dan sebagainya adalah bentuk-bentuk diri yang berbeda-beda. Tetapi yang penting adalah memahami diri, dan saya rasa Anda dan saya meyakini hal itu.
Jika boleh saya tambahkan, marilah kita bersungguh-sungguh dalam hal ini, oleh karena saya merasa, jika Anda dan saya sebagai individu, bukan sebagai kelompok dari kelas tertentu, masyarakat tertentu, wilayah iklim tertentu, dapat memahami ini dan bertindak terhadapnya, maka saya rasa akan ada revolusi yang sesunguhnya. Pada saat itu menjadi universal dan terorganisasikan dengan lebih baik, maka diri berlindung ke dalamnya, sedangkan, jika Anda dan saya sebagai individu dapat mencinta, dapat menerapkan ini secara aktual dalam kehidupan sehari-hari, maka revolusi yang begitu penting akan terjadi.
Tahukah Anda, apa yang saya maksud dengan diri? Yang saya maksud dengan itu adalah gagasan, ingatan, kesimpulan, pengalaman, berbagai niat yang dapat disebut atau tidak, daya upaya sadar untuk menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu, timbunan ingatan di bawah sadar, sifat rasial, kelompok, individu, marga, dan semuanya, entah itu diproyeksikan keluar dalam tindakan, entah diproyeksikan secara spiritual sebagai kebajikan, perjuangan mengejar semua itu adalah diri. Didalamnya termasuk persaingan, keinginan menjadi sesuatu.
Seluruh proses itu adalah diri, dan kita tahu secara actual, ketika kita menghadapinya, bahwa itu jahat.
Saya sengaja menggunakan kata ‘jahat’, oleh karena diri itu memecah-belah, diri itu menutup-diri, kegiatannya, betapapun mulia, terpisah dan terisolasi.
Kita tahu semua itu. Kita juga tahu bahwa adalah luar biasa saat-saat ketika diri itu tidak ada, yang disitu tidak terdapat rasa berupaya, berjuang, dan yang terjadi apabila ada cinta.
Senin, 30 September 2019
Sabtu, 28 September 2019
KESEMPATAN UNTUK MEMPERLUAS DIRI
Struktur hirarkis memberikan kesempatan baik untuk memperluas diri. Anda mungkin menginginkan persaudaraan, tetapi bagaimana mungkin ada persaudaraan jika Anda mengejar pembedaan spiritual?
Anda mungkin tersenyum terhadap gelar-gelar duniawi, tetapi ketika Anda mengakui Sang Master, juru selamat, guru di bidang kerohanian, tidakkah Anda masih membawa sikap duniawi itu? Apakah mungkin ada pembagian dan gelar-gelar hirarkis dalam pertumbuhan spiritual, dalam pemahaman kebenaran, dalam merealisasikan Tuhan?
Cinta tidak mengakui pembagian. Entah Anda mencinta atau tidak mencinta, tetapi jangan buat ketiadaan cinta menjadi proses bertele-tele yang tujuannya adalah cinta.
Bila Anda tahu Anda tidak mencinta, bila Anda sadar tanpa memilih akan fakta itu, maka ada kemungkinan terjadi transformasi, tetapi memupuk dengan rajin pembedaan antara Guru dan murid, antara orang yang telah sampai dan orang yang belum sampai, antara juru selamat dan pendosa, berarti mengingkari cinta.
Si pengeksploitir, yang pada gilirannya dieksploitir, mendapatkan padang perburuan yang menyenangkan dalam kegelapan dan ilusi ini.
Pemisahan antara Tuhan atau realitas dengan Anda dibuat oleh Anda sendiri, oleh batin yang melekat kepada apa yang diketahui, kepada kepastian, kepada rasa aman. Keterpisahan ini tidak bisa dijembatani, tiada ritual, tiada latihan, tiada kurban yang dapat menyeberangkan Anda, tiada juru selamat, tiada Master, tiada guru yang dapat menuntun Anda kepada yang nyata atau melenyapkan keterpisahan ini. Pembagian ini bukan antara yang nyata dengan Anda, itu ada didalam diri Anda sendiri.
Yang penting adalah memahami konflik keinginan yang makin meningkat, dan pemahaman ini hanya datang melalui pengenalan diri dan kesadaran terus-menerus akan gerak-gerik diri.
Anda mungkin tersenyum terhadap gelar-gelar duniawi, tetapi ketika Anda mengakui Sang Master, juru selamat, guru di bidang kerohanian, tidakkah Anda masih membawa sikap duniawi itu? Apakah mungkin ada pembagian dan gelar-gelar hirarkis dalam pertumbuhan spiritual, dalam pemahaman kebenaran, dalam merealisasikan Tuhan?
Cinta tidak mengakui pembagian. Entah Anda mencinta atau tidak mencinta, tetapi jangan buat ketiadaan cinta menjadi proses bertele-tele yang tujuannya adalah cinta.
Bila Anda tahu Anda tidak mencinta, bila Anda sadar tanpa memilih akan fakta itu, maka ada kemungkinan terjadi transformasi, tetapi memupuk dengan rajin pembedaan antara Guru dan murid, antara orang yang telah sampai dan orang yang belum sampai, antara juru selamat dan pendosa, berarti mengingkari cinta.
Si pengeksploitir, yang pada gilirannya dieksploitir, mendapatkan padang perburuan yang menyenangkan dalam kegelapan dan ilusi ini.
Pemisahan antara Tuhan atau realitas dengan Anda dibuat oleh Anda sendiri, oleh batin yang melekat kepada apa yang diketahui, kepada kepastian, kepada rasa aman. Keterpisahan ini tidak bisa dijembatani, tiada ritual, tiada latihan, tiada kurban yang dapat menyeberangkan Anda, tiada juru selamat, tiada Master, tiada guru yang dapat menuntun Anda kepada yang nyata atau melenyapkan keterpisahan ini. Pembagian ini bukan antara yang nyata dengan Anda, itu ada didalam diri Anda sendiri.
Yang penting adalah memahami konflik keinginan yang makin meningkat, dan pemahaman ini hanya datang melalui pengenalan diri dan kesadaran terus-menerus akan gerak-gerik diri.
DILUAR SEMUA PENGALAMAN
Untuk memahami diri dibutuhkan kecerdasan yang kuat, keawasan, kewaspadaan yang kuat, mengamati tanpa henti, sehingga diri itu tidak lolos.
Saya, yang amat bersungguh-sungguh, ingin melenyapkan diri. Bila saya mengatakan itu, saya tahu adalah mungkin untuk melenyapkan diri. Harap sabar. Pada saat saya berkata, “Saya ingin melenyapkan ini,” dan di dalam proses yang saya ikuti untuk melenyapkannya terdapat pengalaman tentang diri, dan dengan demikian diri itu diperkuat. Jadi, bagaimana mungkin bagi diri untuk tidak mengalami?
Kita dapat melihat bahwa penciptaan sama sekali bukan pengalaman tentang diri. Penciptaan ada bila diri tidak ada, oleh karena penciptaan bukanlah intelektual, bukan berasal dari pikiran, bukan diproyeksikan oleh diri, merupakan sesuatu yang berada diluar semua pengalaman seperti yang kita kenal.
Mungkinkah bagi batin untuk sungguh hening, berada dalam keadaan tak mengenal, yang berarti tak mengalami, berada dalam keadaan yang disitu penciptaan dapat berlangsung, yang berarti, bila diri tidak ada, bila diri absen?
Apakah pertanyaan saya ini jelas, atau tidak? Masalahnya adalah ini, bukan? Setiap gerak dari batin, positif atau negatif, adalah pengalaman yang sesungguhnya memperkuat sang “aku”. Mungkinkah bagi batin untuk tak mengenal? Itu hanya dapat terjadi bila terdapat keheningan sempurna, tetapi bukan keheningan yang merupakan pengalaman dari diri dan yang dengan demikian memperkuat diri.
Saya, yang amat bersungguh-sungguh, ingin melenyapkan diri. Bila saya mengatakan itu, saya tahu adalah mungkin untuk melenyapkan diri. Harap sabar. Pada saat saya berkata, “Saya ingin melenyapkan ini,” dan di dalam proses yang saya ikuti untuk melenyapkannya terdapat pengalaman tentang diri, dan dengan demikian diri itu diperkuat. Jadi, bagaimana mungkin bagi diri untuk tidak mengalami?
Kita dapat melihat bahwa penciptaan sama sekali bukan pengalaman tentang diri. Penciptaan ada bila diri tidak ada, oleh karena penciptaan bukanlah intelektual, bukan berasal dari pikiran, bukan diproyeksikan oleh diri, merupakan sesuatu yang berada diluar semua pengalaman seperti yang kita kenal.
Mungkinkah bagi batin untuk sungguh hening, berada dalam keadaan tak mengenal, yang berarti tak mengalami, berada dalam keadaan yang disitu penciptaan dapat berlangsung, yang berarti, bila diri tidak ada, bila diri absen?
Apakah pertanyaan saya ini jelas, atau tidak? Masalahnya adalah ini, bukan? Setiap gerak dari batin, positif atau negatif, adalah pengalaman yang sesungguhnya memperkuat sang “aku”. Mungkinkah bagi batin untuk tak mengenal? Itu hanya dapat terjadi bila terdapat keheningan sempurna, tetapi bukan keheningan yang merupakan pengalaman dari diri dan yang dengan demikian memperkuat diri.
Jumat, 27 September 2019
DAPATKAH BATIN YANG MENTAH MENJADI PEKA?
Simaklah pertanyaan itu, simaklah makna dibalik kata-katanya. Dapatkah batin yang mentah menjadi peka? Jika saya berkata batin saya mentah, dan saya mencoba menjadi peka, maka upaya untuk menjadi peka itu sendiri adalah kementahan.
Harap lihat ini. Jangan heran, tetapi pandanglah. Sedangkan, jika saya melihat bahwa saya mentah tanpa ingin berubah, tanpa mencoba menjadi peka, jika saya mulai memahami apa arti kementahan, mengamatinya dalam hidup saya dari hari ke hari, cara makan saya yang rakus, cara saya memperlakukan orang dengan kasar, kebanggaan, keangkuhan, kekasaran tingkah laku dan pikiran-pikiran saya, maka pengamatan itu sendiri mentransformasikan apa adanya.
Demikian pula, jika saya bodoh dan saya berkata saya harus menjadi cerdas, maka upaya untuk menjadi cerdas itu hanyalah wujud kebodohan yang lebih besar, oleh karena yang penting adalah memahami kebodohan.
Betapa banyakpun saya mencoba menjadi cerdas, kebodohan saya tetap ada. Saya mungkin mencapai polesan di permukaan dengan belajar, saya mungkin mampu mengutip dari buku-buku, membeo ucapan para penulis besar, tetapi pada dasarnya saya tetap bodoh. Tetapi jika saya melihat dan memahami kebodohan ketika ia menampilkan diri dalam kehidupan saya sehari-hari, bagaimana saya memperlakukan pelayan saya, bagaimana saya memandang tetangga saya, orang miskin, orang kaya, pegawai rendah, maka kesadaran itu sendiri menghasilkan runtuhnya kebodohan.
Harap lihat ini. Jangan heran, tetapi pandanglah. Sedangkan, jika saya melihat bahwa saya mentah tanpa ingin berubah, tanpa mencoba menjadi peka, jika saya mulai memahami apa arti kementahan, mengamatinya dalam hidup saya dari hari ke hari, cara makan saya yang rakus, cara saya memperlakukan orang dengan kasar, kebanggaan, keangkuhan, kekasaran tingkah laku dan pikiran-pikiran saya, maka pengamatan itu sendiri mentransformasikan apa adanya.
Demikian pula, jika saya bodoh dan saya berkata saya harus menjadi cerdas, maka upaya untuk menjadi cerdas itu hanyalah wujud kebodohan yang lebih besar, oleh karena yang penting adalah memahami kebodohan.
Betapa banyakpun saya mencoba menjadi cerdas, kebodohan saya tetap ada. Saya mungkin mencapai polesan di permukaan dengan belajar, saya mungkin mampu mengutip dari buku-buku, membeo ucapan para penulis besar, tetapi pada dasarnya saya tetap bodoh. Tetapi jika saya melihat dan memahami kebodohan ketika ia menampilkan diri dalam kehidupan saya sehari-hari, bagaimana saya memperlakukan pelayan saya, bagaimana saya memandang tetangga saya, orang miskin, orang kaya, pegawai rendah, maka kesadaran itu sendiri menghasilkan runtuhnya kebodohan.
Rabu, 25 September 2019
SEMUA PROSES MENJADI ADALAH PERUSAKAN
Batin mempunyai suatu gagasan, yang mungkin menyenangkan, dan ia ingin menjadi seperti gagasan itu, yang adalah proyeksi keinginan Anda. Ada keadaan begini, yang tidak Anda sukai, dan Anda ingin menjadi begitu, yang Anda sukai.
Yang ideal itu diproyeksikan oleh diri, apa yang berlawanan adalah perluasan dari apa yang ada, itu sama sekali bukan yang berlawanan, melainkan kelanjutan dari apa yang ada, mungkin sedikit diubah.
Proyeksi itu dikehendaki oleh diri, dan konflik adalah perjuangan menuju proyeksi itu.
Anda berjuang untuk menjadi sesuatu, dan sesuatu itu adalah bagian dari diri Anda. Yang ideal itu adalah proyeksi Anda sendiri.
Lihatlah betapa batin telah menipu dirinya sendiri. Anda berjuang mengejar kata-kata, mengejar proyeksi Anda sendiri, bayangan Anda sendiri. Anda penuh kekerasan, dan Anda berjuang untuk tidak lagi keras, yakni yang ideal, tetapi yang ideal itu adalah proyeksi apa yang ada, hanya saja dengan nama berbeda.
Bila Anda menyadari tipuan yang Anda lakukan terhadap diri Anda sendiri, maka yang palsu terlihat sebagai yang palsu. Perjuangan menuju suatu ilusi adalah faktor yang merusak.
Semua konflik, semua proses menjadi adalah perusakan. Bila ada kesadaran akan tipuan yang dilakukan batin terhadap dirinya sendiri, maka yang ada hanyalah apa adanya. Bila batin terbebas dari semua proses menjadi, dari semua yang ideal, dari semua pembandingan dan pengutukan, bila semua struktur dirinya runtuh, maka apa adanya mengalami transformasi sepenuhnya.
Selama masih ada pemberian nama terhadap apa adanya, maka ada hubungan antara batin dengan apa adanya, tetapi bila proses penamaan ini, yang adalah ingatan, yakni struktur batin itu sendiri, tidak ada, maka apa adanya tidak ada lagi. Hanya didalam transformasi ini terdapat integrasi.
Yang ideal itu diproyeksikan oleh diri, apa yang berlawanan adalah perluasan dari apa yang ada, itu sama sekali bukan yang berlawanan, melainkan kelanjutan dari apa yang ada, mungkin sedikit diubah.
Proyeksi itu dikehendaki oleh diri, dan konflik adalah perjuangan menuju proyeksi itu.
Anda berjuang untuk menjadi sesuatu, dan sesuatu itu adalah bagian dari diri Anda. Yang ideal itu adalah proyeksi Anda sendiri.
Lihatlah betapa batin telah menipu dirinya sendiri. Anda berjuang mengejar kata-kata, mengejar proyeksi Anda sendiri, bayangan Anda sendiri. Anda penuh kekerasan, dan Anda berjuang untuk tidak lagi keras, yakni yang ideal, tetapi yang ideal itu adalah proyeksi apa yang ada, hanya saja dengan nama berbeda.
Bila Anda menyadari tipuan yang Anda lakukan terhadap diri Anda sendiri, maka yang palsu terlihat sebagai yang palsu. Perjuangan menuju suatu ilusi adalah faktor yang merusak.
Semua konflik, semua proses menjadi adalah perusakan. Bila ada kesadaran akan tipuan yang dilakukan batin terhadap dirinya sendiri, maka yang ada hanyalah apa adanya. Bila batin terbebas dari semua proses menjadi, dari semua yang ideal, dari semua pembandingan dan pengutukan, bila semua struktur dirinya runtuh, maka apa adanya mengalami transformasi sepenuhnya.
Selama masih ada pemberian nama terhadap apa adanya, maka ada hubungan antara batin dengan apa adanya, tetapi bila proses penamaan ini, yang adalah ingatan, yakni struktur batin itu sendiri, tidak ada, maka apa adanya tidak ada lagi. Hanya didalam transformasi ini terdapat integrasi.
Selasa, 24 September 2019
MENJADI ADALAH PERGULATAN
Hidup yang kita kenal, kehidupan sehari-hari kita, adalah suatu proses menjadi.
Saya miskin, dan saya bertindak dengan suatu tujuan dalam pandangan saya, yakni menjadi kaya.
Saya jelek dan ingin menjadi cantik. Oleh karena itu hidup saya adalah proses untuk menjadi sesuatu.
Keinginan untuk ada adalah keinginan untuk menjadi, pada tingkat kesadaran yang berbeda-beda, dalam keadaan yang berbeda-beda, yang disitu terdapat tantangan, tanggapan, penamaan, dan pencatatan.
Nah, menjadi adalah pergulatan, menjadi adalah kesakitan, bukan?
Itu adalah perjuangan terus-menerus: saya sekarang begini, dan saya ingin menjadi begitu.
Saya miskin, dan saya bertindak dengan suatu tujuan dalam pandangan saya, yakni menjadi kaya.
Saya jelek dan ingin menjadi cantik. Oleh karena itu hidup saya adalah proses untuk menjadi sesuatu.
Keinginan untuk ada adalah keinginan untuk menjadi, pada tingkat kesadaran yang berbeda-beda, dalam keadaan yang berbeda-beda, yang disitu terdapat tantangan, tanggapan, penamaan, dan pencatatan.
Nah, menjadi adalah pergulatan, menjadi adalah kesakitan, bukan?
Itu adalah perjuangan terus-menerus: saya sekarang begini, dan saya ingin menjadi begitu.
RELASI ADALAH CERMIN
Pengenalan diri bukanlah mengikuti suatu rumusan tertentu. Anda boleh pergi kepada seorang psikolog atau psikoanalis untuk mengetahui diri Anda, tetapi itu bukan pengenalan diri.
Pengenalan diri muncul apabila kita menyadari diri kita didalam hubungan, yang memperlihatkan apa adanya diri kita dari saat ke saat. Hubungan adalah cermin yang didalamnya kita melihat diri kita sendiri seperti apa adanya. Tetapi kebanyakan dari kita tidak mampu memandang diri sendiri seperti apa adanya dalam hubungan, oleh karena kita langsung mulai menyalahkan atau membenarkan apa yang kita lihat.
Kita menghakimi, kita menilai, kita membandingkan, kita menolak atau menerima, tetapi kita tidak pernah sungguh-sungguh mengamati apa adanya, dan bagi kebanyakan orang tampaknya ini hal yang paling sukar dilakukan, namun hanya inilah awal dari pengenalan diri.
Jika kita mampu melihat diri kita seperti apa adanya didalam cermin luar biasa dari hubungan, yang tidak mendistorsikan, jika kita bisa sekadar memandang kedalam cermin ini dengan penuh perhatian dan sungguh-sungguh melihat apa adanya, menyadarinya tanpa menyalahkan, tanpa menghakimi, tanpa menilai dan kita melakukan ini apabila terdapat minat yang sungguh-sungguh maka kita akan menemukan bahwa batin mampu membebaskan dirinya dari semua keterkondisian dan hanya disitulah batin bebas untuk menemukan apa yang terletak di luar lingkup pikiran.
Bagaimanapun juga, betapapun terpelajar atau betapapun remeh batin, ia sadar atau tidak sadar terbatas, terkondisi, dan setiap perluasan dari pengkondisian ini masih terletak didalam lingkup pikiran. Maka, kebebasan adalah sesuatu yang sama sekali lain.
Pengenalan diri muncul apabila kita menyadari diri kita didalam hubungan, yang memperlihatkan apa adanya diri kita dari saat ke saat. Hubungan adalah cermin yang didalamnya kita melihat diri kita sendiri seperti apa adanya. Tetapi kebanyakan dari kita tidak mampu memandang diri sendiri seperti apa adanya dalam hubungan, oleh karena kita langsung mulai menyalahkan atau membenarkan apa yang kita lihat.
Kita menghakimi, kita menilai, kita membandingkan, kita menolak atau menerima, tetapi kita tidak pernah sungguh-sungguh mengamati apa adanya, dan bagi kebanyakan orang tampaknya ini hal yang paling sukar dilakukan, namun hanya inilah awal dari pengenalan diri.
Jika kita mampu melihat diri kita seperti apa adanya didalam cermin luar biasa dari hubungan, yang tidak mendistorsikan, jika kita bisa sekadar memandang kedalam cermin ini dengan penuh perhatian dan sungguh-sungguh melihat apa adanya, menyadarinya tanpa menyalahkan, tanpa menghakimi, tanpa menilai dan kita melakukan ini apabila terdapat minat yang sungguh-sungguh maka kita akan menemukan bahwa batin mampu membebaskan dirinya dari semua keterkondisian dan hanya disitulah batin bebas untuk menemukan apa yang terletak di luar lingkup pikiran.
Bagaimanapun juga, betapapun terpelajar atau betapapun remeh batin, ia sadar atau tidak sadar terbatas, terkondisi, dan setiap perluasan dari pengkondisian ini masih terletak didalam lingkup pikiran. Maka, kebebasan adalah sesuatu yang sama sekali lain.
Senin, 23 September 2019
PENGETAHUAN DIRI
Berpikir benar datang dengan pengenalan diri. Tanpa memahami diri Anda, Anda tidak punya dasar untuk berpikir, tanpa pengenalan diri, yang Anda pikir adalah tidak benar.
Anda dan dunia bukan dua entitas berbeda dengan problem terpisah, Anda dan dunia adalah satu. Problem Anda adalah problem dunia. Anda mungkin hasil dari kecenderungan-kecenderungan tertentu, dari pengaruh lingkungan, tetapi Anda tidak berbeda secara mendasar dengan orang lain.
Secara batiniah, kita semua sangat mirip, kita semua didorong oleh keserakahan, keinginan jahat, ketakutan, ambisi dan sebagainya. Kepercayaan, harapan, aspirasi kita mempunyai landasan bersama.
Kita adalah satu, kita adalah satu kemanusiaan, sekalipun batas-batas artifisial dari ekonomi dan politik dan prasangka memecah-belah kita.
Jika Anda membunuh orang lain, Anda merusak diri sendiri. Anda adalah pusat dari keseluruhan, dan tanpa memahami diri Anda sendiri Anda tidak dapat memahami realitas.
Kita mempunyai pengetahuan intelektual tentang kesatuan ini, tetapi kita tetap menyimpan pengetahuan dan perasaan dalam kotak-kotak yang berbeda, dan oleh karena itu kita tidak pernah mengalami kesatuan yang luar biasa dari manusia.
Anda dan dunia bukan dua entitas berbeda dengan problem terpisah, Anda dan dunia adalah satu. Problem Anda adalah problem dunia. Anda mungkin hasil dari kecenderungan-kecenderungan tertentu, dari pengaruh lingkungan, tetapi Anda tidak berbeda secara mendasar dengan orang lain.
Secara batiniah, kita semua sangat mirip, kita semua didorong oleh keserakahan, keinginan jahat, ketakutan, ambisi dan sebagainya. Kepercayaan, harapan, aspirasi kita mempunyai landasan bersama.
Kita adalah satu, kita adalah satu kemanusiaan, sekalipun batas-batas artifisial dari ekonomi dan politik dan prasangka memecah-belah kita.
Jika Anda membunuh orang lain, Anda merusak diri sendiri. Anda adalah pusat dari keseluruhan, dan tanpa memahami diri Anda sendiri Anda tidak dapat memahami realitas.
Kita mempunyai pengetahuan intelektual tentang kesatuan ini, tetapi kita tetap menyimpan pengetahuan dan perasaan dalam kotak-kotak yang berbeda, dan oleh karena itu kita tidak pernah mengalami kesatuan yang luar biasa dari manusia.
Minggu, 22 September 2019
OTORITAS MENGHALANGI BELAJAR
Pada umumnya kita belajar melalui pengkajian, melalui buku-buku, melalui pengalaman, atau melalui pengajaran. Semua itu adalah cara umum untuk belajar. Kita menghafalkan apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan, bagaimana harus berpikir dan bagaimana tidak seharusnya berpikir, bagaimana merasakan, bagaimana bereaksi.
Melalui pengalaman, melalui studi, melalui analisis, melalui penggalian, melalui pemeriksaan introspektif, kita menimbun pengetahuan sebagai ingatan, dan lalu ingatan merespons tantangan dan tuntutan baru, yang dari situ terjadi proses belajar lebih lanjut.
Apa yang dipelajari dimasukkan kedalam ingatan sebagai pengetahuan, dan pengetahuan itu berfungsi bila terdapat tantangan, atau bila kita ingin melakukan sesuatu.
Nah, saya rasa ada cara belajar yang sama sekali lain, dan saya akan berbicara sedikit tentang itu, tetapi untuk memahaminya, dan untuk belajar dengan cara lain ini, Anda harus membuang otoritas sama sekali, kalau tidak, Anda hanya akan diajari, dan Anda hanya akan mengulang apa yang Anda dengar. Itulah sebabnya sangat penting untuk memahami hakikat otoritas.
Otoritas menghalangi belajar-belajar yang bukan penimbunan pengetahuan sebagai ingatan. Ingatan selalu merespons dalam pola, tidak ada kebebasan.
Orang yang terbebani dengan pengetahuan, dengan pengajaran, yang terbungkuk-bungkuk dengan hal-hal yang telah dipelajarinya, tidak pernah bebas. Ia mungkin luar biasa fasih berbicara, tetapi timbunan pengetahuannya menghalanginya untuk bebas, dan oleh karena itu ia tidak mampu belajar.
Melalui pengalaman, melalui studi, melalui analisis, melalui penggalian, melalui pemeriksaan introspektif, kita menimbun pengetahuan sebagai ingatan, dan lalu ingatan merespons tantangan dan tuntutan baru, yang dari situ terjadi proses belajar lebih lanjut.
Apa yang dipelajari dimasukkan kedalam ingatan sebagai pengetahuan, dan pengetahuan itu berfungsi bila terdapat tantangan, atau bila kita ingin melakukan sesuatu.
Nah, saya rasa ada cara belajar yang sama sekali lain, dan saya akan berbicara sedikit tentang itu, tetapi untuk memahaminya, dan untuk belajar dengan cara lain ini, Anda harus membuang otoritas sama sekali, kalau tidak, Anda hanya akan diajari, dan Anda hanya akan mengulang apa yang Anda dengar. Itulah sebabnya sangat penting untuk memahami hakikat otoritas.
Otoritas menghalangi belajar-belajar yang bukan penimbunan pengetahuan sebagai ingatan. Ingatan selalu merespons dalam pola, tidak ada kebebasan.
Orang yang terbebani dengan pengetahuan, dengan pengajaran, yang terbungkuk-bungkuk dengan hal-hal yang telah dipelajarinya, tidak pernah bebas. Ia mungkin luar biasa fasih berbicara, tetapi timbunan pengetahuannya menghalanginya untuk bebas, dan oleh karena itu ia tidak mampu belajar.
Sabtu, 21 September 2019
KEKOSONGAN KREATIF
Tidak dapatkah Anda sekadar menyimak ini seperti tanah menerima benih, dan melihat apakah batin mampu menjadi bebas, menjadi kosong? Ia bisa menjadi kosong hanya dengan memahami seluruh proyeksi-proyeksinya, seluruh kegiatannya, bukan kadang-kadang saja, melainkan dari hari ke hari, dari saat ke saat. Maka Anda akan menemukan jawabannya, maka Anda akan melihat bahwa perubahan muncul tanpa diminta, bahwa keadaan kekosongan kreatif bukanlah sesuatu untuk dipupuk, ia ada, ia datang menyelinap, tanpa diundang, dan hanya dalam keadaan itulah terdapat kemungkinan pembaruan, kebaruan, revolusi.
Jumat, 20 September 2019
BELAJAR TIDAK PUNYA MASA LAMPAU
Kearifan adalah sesuatu yang harus ditemukan oleh setiap orang, dan itu bukan hasil dari pengetahuan. Pengetahuan dan kearifan tidak dapat berjalan bersama-sama. Kearifan dating apabila terdapat pengenalan diri yang matang. Tanpa mengenal diri sendiri, tidak mungkin ada ketertiban, dan oleh karena itu tidak ada kebajikan.
Nah, belajar tentang diri sendiri, dan mengumpulkan pengetahuan tentang diri sendiri, adalah dua hal yang berbeda. Batin yang mengumpulkan pengetahuan tidak pernah belajar. Yang dilakukannya adalah ini: Ia mengumpulkan bagi dirinya sendiri informasi, pengalaman sebagai pengetahuan, dan dari latar belakang apa yang telah dikumpulkannya, ia mengalami, ia belajar, dan oleh karena itu ia tidak pernah sungguh-sungguh belajar, tetapi selamanya mengetahui, memperoleh. Belajar adalah selalu pada masa kini yang aktif, ia tidak punya masa lampau. Pada saat Anda berkata kepada diri sendiri, “Saya telah belajar,” itu telah menjadi pengetahuan, dan dari latar belakang pengetahuan itu Anda dapat menimbun, menerjemahkan, tetapi Anda tidak dapat belajar lebih jauh.
Hanya batin yang tidak memperoleh, melainkan selalu belajar, hanya batin seperti itu dapat memahami seluruh entitas yang kita namakan ‘aku’, diri. Saya harus mengenal diri sendiri, strukturnya, hakikatnya, makna entitas ini secara total, tetapi saya tidak dapat melakukannya dengan terbebani pengetahuan terdahulu, dengan pengalaman terdahulu, atau dengan batin yang terkondisi, oleh karena kalau begitu saya tidak belajar. Saya hanyalah menafsirkan, menerjemahkan, memandang dengan mata yang telah kabur oleh masa lampau.
Nah, belajar tentang diri sendiri, dan mengumpulkan pengetahuan tentang diri sendiri, adalah dua hal yang berbeda. Batin yang mengumpulkan pengetahuan tidak pernah belajar. Yang dilakukannya adalah ini: Ia mengumpulkan bagi dirinya sendiri informasi, pengalaman sebagai pengetahuan, dan dari latar belakang apa yang telah dikumpulkannya, ia mengalami, ia belajar, dan oleh karena itu ia tidak pernah sungguh-sungguh belajar, tetapi selamanya mengetahui, memperoleh. Belajar adalah selalu pada masa kini yang aktif, ia tidak punya masa lampau. Pada saat Anda berkata kepada diri sendiri, “Saya telah belajar,” itu telah menjadi pengetahuan, dan dari latar belakang pengetahuan itu Anda dapat menimbun, menerjemahkan, tetapi Anda tidak dapat belajar lebih jauh.
Hanya batin yang tidak memperoleh, melainkan selalu belajar, hanya batin seperti itu dapat memahami seluruh entitas yang kita namakan ‘aku’, diri. Saya harus mengenal diri sendiri, strukturnya, hakikatnya, makna entitas ini secara total, tetapi saya tidak dapat melakukannya dengan terbebani pengetahuan terdahulu, dengan pengalaman terdahulu, atau dengan batin yang terkondisi, oleh karena kalau begitu saya tidak belajar. Saya hanyalah menafsirkan, menerjemahkan, memandang dengan mata yang telah kabur oleh masa lampau.
BELAJAR BUKANLAH MENIMBUN
Belajar itu berbeda dengan mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses yang berlangsung terus-menerus, bukan proses penambahan, bukan proses yang disitu Anda menimbun dan dari situ bertindak. Kebanyakan dari kita mengumpulkan pengetahuan sebagai ingatan, sebagai gagasan, menyimpannya sebagai pengalaman, dan dari situ bertindak. Dengan demikian, kita bertindak dari pengetahuan, pengetahuan teknologis, pengetahuan sebagai pengalaman, pengetahuan sebagai tradisi, pengetahuan yang telah kita peroleh melalui kecenderungan-kecenderungan kita. Dengan latar belakang itu, dengan timbunan itu sebagai pengetahuan, sebagai pengalaman, sebagai tradisi, kita bertindak. Dalam proses itu tidak ada belajar.
Belajar tidak pernah akumulatif, ia adalah gerak yang terus-menerus. Saya tidak tahu apakah Anda pernah menyelami masalah ini, apakah belajar itu dan apakah memperoleh pengetahuan itu?
Belajar bukanlah menimbun. Anda tidak mungkin menimbun pembelajaran, dan dari gudang timbunan itu bertindak. Anda belajar sambil berjalan. Dengan demikian, tidak pernah ada saat kemunduran, kerusakan atau kemerosotan.
Belajar tidak pernah akumulatif, ia adalah gerak yang terus-menerus. Saya tidak tahu apakah Anda pernah menyelami masalah ini, apakah belajar itu dan apakah memperoleh pengetahuan itu?
Belajar bukanlah menimbun. Anda tidak mungkin menimbun pembelajaran, dan dari gudang timbunan itu bertindak. Anda belajar sambil berjalan. Dengan demikian, tidak pernah ada saat kemunduran, kerusakan atau kemerosotan.
KAPAN MUNGKIN BELAJAR?
Menyelidik dan belajar adalah fungsi dari batin. Saya maksud dengan ‘belajar’ bukan sekadar memupuk ingatan atau mengumpulkan pengetahuan, melainkan kemampuan berpikir secara jernih dan waras tanpa ilusi, berangkat dari fakta dan bukan dari kepercayaan atau citacita.
Tidak ada belajar jika pikiran berasal dari kesimpulan. Sekadar memperoleh informasi atau pengetahuan bukanlah belajar. Belajar menyiratkan kecintaan terhadap pemahaman dan kecintaan melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri.
Belajar hanya mungkin jika tidak ada paksaan dalam bentuk apapun. Dan paksaan mengambil banyak bentuk, bukan? Ada paksaan melalui pengaruh, melalui kelekatan atau ancaman, melalui dorongan persuasif, atau wujud-wujud halus dari ganjaran.
Kebanyakan orang mengira bahwa belajar didorong dengan pembandingan, padahal faktanya adalah kebalikannya. Pembandingan menghasilkan frustrasi dan hanya mendorong iri hati, yang dinamakan kompetisi. Seperti bentuk-bentuk lain dari persuasi, pembandingan menghalangi belajar dan memupuk ketakutan.
Tidak ada belajar jika pikiran berasal dari kesimpulan. Sekadar memperoleh informasi atau pengetahuan bukanlah belajar. Belajar menyiratkan kecintaan terhadap pemahaman dan kecintaan melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri.
Belajar hanya mungkin jika tidak ada paksaan dalam bentuk apapun. Dan paksaan mengambil banyak bentuk, bukan? Ada paksaan melalui pengaruh, melalui kelekatan atau ancaman, melalui dorongan persuasif, atau wujud-wujud halus dari ganjaran.
Kebanyakan orang mengira bahwa belajar didorong dengan pembandingan, padahal faktanya adalah kebalikannya. Pembandingan menghasilkan frustrasi dan hanya mendorong iri hati, yang dinamakan kompetisi. Seperti bentuk-bentuk lain dari persuasi, pembandingan menghalangi belajar dan memupuk ketakutan.
PENGENALAN DIRI
Tanpa pengenalan diri, apapun yang Anda lakukan, tidak mungkin ada keadaan meditasi. Yang saya maksud dengan ‘pengenalan diri’ adalah menyadari setiap pikiran, setiap suasana batin, setiap kata, setiap perasaan, menyadari kegiatan batin Anda, bukan menyadari diri tertinggi, Aku yang luhur, tidak ada itu, diri yang lebih tinggi, atman, masih berada didalam lingkup pikiran. Pikiran adalah hasil keterkondisian Anda, pikiran adalah respons ingatan Anda, ingatan nenek moyang atau ingatan belum lama berselang. Dan sekadar mencoba bermeditasi tanpa lebih dulu menegakkan secara mendalam, sehingga tak tercabut kembali, kebajikan yang datang dari pengenalan diri adalah sama sekali menyesatkan dan sama sekali tak berharga.
Mohon diperhatikan, ini sangat penting bagi mereka yang serius untuk memahami ini. Oleh karena jika Anda tidak dapat melakukannya, maka meditasi Anda dan kehidupan sehari-hari Anda tercerai, terpisah, begitu jauh terpisah sehingga sekalipun mungkin Anda bermeditasi, duduk bersila terus-menerus, sepanjang sisa hidup Anda, Anda tidak akan melihat lebih jauh dari hidung Anda, sikap tubuh apapun yang Anda ambil, apapun yang Anda lakukan, tidak akan berarti sama sekali.
Penting dipahami apa pengenalan diri ini: sekadar sadar, tanpa memilih sedikitpun, akan sang ‘aku’ yang bersumber pada seonggok ingatan, sekadar menyadarinya tanpa menafsirkan, sekadar mengamati gerakan batin. Tetapi pengamatan itu terhalang bila Anda mengumpulkan melalui pengamatan: apa yang harus dikerjakan, apa yang tak boleh dikerjakan, apa yang harus dicapai, jika Anda lakukan itu, Anda mengakhiri proses yang hidup dari Gerakan batin sebagai diri. Artinya, saya harus mengamati dan melihat faktanya, yang aktual, apa adanya.
Jika saya mendekatinya dengan sebuah gagasan, dengan sebuah opini, misalnya, “saya harus begini”, atau “saya tidak boleh begitu”, yang adalah respons ingatan, maka gerakan dari apa adanya akan terhalang, terbendung, dan oleh karena itu, tidak terjadi belajar.
Mohon diperhatikan, ini sangat penting bagi mereka yang serius untuk memahami ini. Oleh karena jika Anda tidak dapat melakukannya, maka meditasi Anda dan kehidupan sehari-hari Anda tercerai, terpisah, begitu jauh terpisah sehingga sekalipun mungkin Anda bermeditasi, duduk bersila terus-menerus, sepanjang sisa hidup Anda, Anda tidak akan melihat lebih jauh dari hidung Anda, sikap tubuh apapun yang Anda ambil, apapun yang Anda lakukan, tidak akan berarti sama sekali.
Penting dipahami apa pengenalan diri ini: sekadar sadar, tanpa memilih sedikitpun, akan sang ‘aku’ yang bersumber pada seonggok ingatan, sekadar menyadarinya tanpa menafsirkan, sekadar mengamati gerakan batin. Tetapi pengamatan itu terhalang bila Anda mengumpulkan melalui pengamatan: apa yang harus dikerjakan, apa yang tak boleh dikerjakan, apa yang harus dicapai, jika Anda lakukan itu, Anda mengakhiri proses yang hidup dari Gerakan batin sebagai diri. Artinya, saya harus mengamati dan melihat faktanya, yang aktual, apa adanya.
Jika saya mendekatinya dengan sebuah gagasan, dengan sebuah opini, misalnya, “saya harus begini”, atau “saya tidak boleh begitu”, yang adalah respons ingatan, maka gerakan dari apa adanya akan terhalang, terbendung, dan oleh karena itu, tidak terjadi belajar.
Kamis, 19 September 2019
KREATIVITAS MELALUI PENGENALAN DIRI
Tidak ada metode untuk mengenal diri. Mencari metode mau tidak mau menyiratkan keinginan untuk mencapai suatu hasil dan itulah yang dikehendaki oleh kita semua.
Kita mengikuti otoritas, jika bukan otoritas seseorang, maka otoritas sebuah sistem, atau sebuah ideologi, karena kita menghendaki suatu hasil yang memuaskan, yang akan memberi kita rasa aman.
Kita sesungguhnya tidak menghendaki untuk memahami diri kita sendiri, dorongan-dorongan dan reaksi-reaksi kita, seluruh proses berpikir kita, yang disadari maupun tak disadari, kita lebih suka menjalankan sebuah sistem yang memberikan jaminan hasil. Tetapi menjalankan sebuah sistem mau tidak mau adalah hasil keinginan untuk memperoleh rasa aman, memperoleh kepastian, dan hasilnya jelas bukan pemahaman diri sendiri.
Bila kita mengikuti sebuah metode, kita harus menganut otoritas, Guru, Juru selamat, Master, yang akan menjamin bagi kita apa yang kita inginkan, jelas ini bukan jalan untuk mengenal diri.
Otoritas menghalangi pengenalan diri, bukan? Dibawah perlindungan sebuah otoritas, perlindungan seorang penuntun, Anda mungkin mempunyai rasa aman, rasa sejahtera untuk sementara, tetapi itu bukan pemahaman seluruh proses diri sendiri.
Otoritas pada hakikatnya menghalangi penyadaran penuh akan diri sendiri, dan oleh karena itu pada akhirnya menghancurkan kebebasan, hanya didalam kebebasan terdapat kreativitas. Kreativitas hanya mungkin ada melalui pengenalan diri.
Kita mengikuti otoritas, jika bukan otoritas seseorang, maka otoritas sebuah sistem, atau sebuah ideologi, karena kita menghendaki suatu hasil yang memuaskan, yang akan memberi kita rasa aman.
Kita sesungguhnya tidak menghendaki untuk memahami diri kita sendiri, dorongan-dorongan dan reaksi-reaksi kita, seluruh proses berpikir kita, yang disadari maupun tak disadari, kita lebih suka menjalankan sebuah sistem yang memberikan jaminan hasil. Tetapi menjalankan sebuah sistem mau tidak mau adalah hasil keinginan untuk memperoleh rasa aman, memperoleh kepastian, dan hasilnya jelas bukan pemahaman diri sendiri.
Bila kita mengikuti sebuah metode, kita harus menganut otoritas, Guru, Juru selamat, Master, yang akan menjamin bagi kita apa yang kita inginkan, jelas ini bukan jalan untuk mengenal diri.
Otoritas menghalangi pengenalan diri, bukan? Dibawah perlindungan sebuah otoritas, perlindungan seorang penuntun, Anda mungkin mempunyai rasa aman, rasa sejahtera untuk sementara, tetapi itu bukan pemahaman seluruh proses diri sendiri.
Otoritas pada hakikatnya menghalangi penyadaran penuh akan diri sendiri, dan oleh karena itu pada akhirnya menghancurkan kebebasan, hanya didalam kebebasan terdapat kreativitas. Kreativitas hanya mungkin ada melalui pengenalan diri.
BELAJAR BUKAN PENGALAMAN
Kata ‘belajar’ punya arti penting. Ada dua macam belajar. Bagi kebanyakan dari kita, ‘belajar’ berarti mengumpulkan pengetahuan, pengalaman, teknologi, ketrampilan, bahasa. Juga ada belajar secara psikologis, belajar melalui pengalaman, baik pengalaman hidup langsung, yang meninggalkan suatu sisa tertentu sebagai tradisi, ras, masyarakat. Demikianlah kedua jenis belajar untuk menghadapi kehidupan ini. Secara psikologis dan secara fisiologis, ketrampilan lahir dan ketrampilan batin. Sesungguhnya tidak ada garis pembatas diantara keduanya, keduanya tumpang tindih.
Sekarang kita tidak mempersoalkan ketrampilan yang kita peroleh dengan latihan, pengetahuan teknologis yang kita peroleh dengan studi. Yang kita bicarakan adalah belajar secara psikologis, yang selama berabad-abad kita peroleh atau warisi sebagai tradisi, pengetahuan, pengalaman. Ini kita sebut ‘belajar’, tapi saya mempertanyakan apakah itu benar-benar belajar.
Saya tidak bicara tentang belajar suatu ketrampilan, bahasa, teknik, melainkan saya bertanya, apakah batin pernah belajar secara psikologis? Ia belajar, dan dengan apa yang dipelajarinya ia menghadapi tantangan kehidupan. Ia selalu menerjemahkan kehidupan atau tantangan baru menurut apa yang telah dipelajarinya. Itulah yang kita lakukan. Apakah itu belajar? Tidakkah ‘belajar’ menyiratkan sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak saya ketahui dan saya belajar? Jika saya sekadar menambah apa yang sudah saya ketahui, itu bukan lagi belajar.
Sekarang kita tidak mempersoalkan ketrampilan yang kita peroleh dengan latihan, pengetahuan teknologis yang kita peroleh dengan studi. Yang kita bicarakan adalah belajar secara psikologis, yang selama berabad-abad kita peroleh atau warisi sebagai tradisi, pengetahuan, pengalaman. Ini kita sebut ‘belajar’, tapi saya mempertanyakan apakah itu benar-benar belajar.
Saya tidak bicara tentang belajar suatu ketrampilan, bahasa, teknik, melainkan saya bertanya, apakah batin pernah belajar secara psikologis? Ia belajar, dan dengan apa yang dipelajarinya ia menghadapi tantangan kehidupan. Ia selalu menerjemahkan kehidupan atau tantangan baru menurut apa yang telah dipelajarinya. Itulah yang kita lakukan. Apakah itu belajar? Tidakkah ‘belajar’ menyiratkan sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak saya ketahui dan saya belajar? Jika saya sekadar menambah apa yang sudah saya ketahui, itu bukan lagi belajar.
UNTUK DAPAT BELAJAR, BATIN HARUS DIAM
Untuk menemukan sesuatu yang baru, Anda harus berangkat sendirian, Anda harus berangkat dengan betul-betul telanjang, terutama dalam hal pengetahuan, oleh karena mudah sekali, melalui pengetahuan dan kepercayaan, untuk memperoleh berbagai pengalaman, tetapi pengalaman-pengalaman itu tidak lebih dari produk proyeksi-diri, dan oleh karena itu sama sekali tidak nyata, palsu.
Jika Anda ingin menemukan sendiri apa yang baru, tidak ada gunanya membawa-bawa beban apa yang lama, terutama pengetahuan-pengetahuan orang lain, betapapun besarnya. Anda menggunakan pengetahuan sebagai cara untuk memproyeksikan diri sendiri, memperoleh rasa aman, dan Anda ingin merasa yakin bahwa Anda memperoleh pengalaman yang sama seperti Buddha, atau Yesus, atau si X. Tetapi orang yang terus-menerus berlindung dibalik pengetahuan jelas bukan pencari kebenaran.
Jika Anda ingin menemukan sendiri apa yang baru, tidak ada gunanya membawa-bawa beban apa yang lama, terutama pengetahuan-pengetahuan orang lain, betapapun besarnya. Anda menggunakan pengetahuan sebagai cara untuk memproyeksikan diri sendiri, memperoleh rasa aman, dan Anda ingin merasa yakin bahwa Anda memperoleh pengalaman yang sama seperti Buddha, atau Yesus, atau si X. Tetapi orang yang terus-menerus berlindung dibalik pengetahuan jelas bukan pencari kebenaran.
BATIN HENING, BATIN SEDERHANA
Apabila kita sadar akan diri kita sendiri, bukankah seluruh gerak kehidupan adalah jalan untuk membongkar sang ‘aku’, ego, diri? Diri adalah proses yang amat rumit, yang hanya dapat dibongkar dalam hubungan, dalam kegiatan kita sehari-hari, dalam cara kita bicara, cara kita menilai, menghitung-hitung, cara kita mengutuk orang lain dan diri sendiri. Semua itu mengungkapkan terkondisinya pikiran kita sendiri dan tidakkah penting untuk menyadari seluruh proses ini?
Hanya melalui kesadaran akan apa yang benar dari saat ke saat terdapat penemuan akan apa yang berada di luar waktu, yang abadi. Tanpa pengenalan diri, yang abadi tidak mungkin muncul. Bila kita tidak mengenal diri kita sendiri, yang abadi menjadi sekadar kata semata-mata, suatu simbol, suatu spekulasi, suatu dogma, suatu kepercayaan, suatu ilusi yang kepadanya batin bisa melarikan diri. Tetapi jika kita mulai memahami sang ‘aku’ dalam semua sepak terjangnya sehari-hari, maka didalam pemahaman itu sendiri, tanpa upaya apa pun, apa yang tak bernama, yang berada diluar waktu, muncul. Tetapi yang diluar waktu itu bukan ganjaran bagi pengenalan diri. Yang abadi tidak dapat dikejar, batin tidak bisa memilikinya. Ia muncul bila batin hening, dan batin hanya bisa hening bila ia sederhana, bila ia tidak lagi menimbun, mengutuk, menghakimi, menimbang-nimbang. Hanyalah batin yang sederhana yang dapat memahami apa yang nyata, bukan batin yang penuh dengan kata-kata, pengetahuan, informasi. Batin yang menganalisis, menghitung-hitung, bukanlah batin yang sederhana.
Hanya melalui kesadaran akan apa yang benar dari saat ke saat terdapat penemuan akan apa yang berada di luar waktu, yang abadi. Tanpa pengenalan diri, yang abadi tidak mungkin muncul. Bila kita tidak mengenal diri kita sendiri, yang abadi menjadi sekadar kata semata-mata, suatu simbol, suatu spekulasi, suatu dogma, suatu kepercayaan, suatu ilusi yang kepadanya batin bisa melarikan diri. Tetapi jika kita mulai memahami sang ‘aku’ dalam semua sepak terjangnya sehari-hari, maka didalam pemahaman itu sendiri, tanpa upaya apa pun, apa yang tak bernama, yang berada diluar waktu, muncul. Tetapi yang diluar waktu itu bukan ganjaran bagi pengenalan diri. Yang abadi tidak dapat dikejar, batin tidak bisa memilikinya. Ia muncul bila batin hening, dan batin hanya bisa hening bila ia sederhana, bila ia tidak lagi menimbun, mengutuk, menghakimi, menimbang-nimbang. Hanyalah batin yang sederhana yang dapat memahami apa yang nyata, bukan batin yang penuh dengan kata-kata, pengetahuan, informasi. Batin yang menganalisis, menghitung-hitung, bukanlah batin yang sederhana.
Rabu, 18 September 2019
MENGENAL DIRI SECARA AKTIF
Tanpa pengenalan-diri, pengalaman menghasilkan ilusi, dengan pengenalan diri, pengalaman yang adalah respons terhadap tantangan tidak meninggalkan sisa kumulatif sebagai ingatan. Pengenalan diri adalah penemuan dari saat ke saat gerak-gerik diri, niat-niatnya dan upaya-upayanya, pikiran-pikirannya dan nafsu-nafsunya. Tidak pernah ada “pengalamanku” dan “pengalamanmu”, istilah “pengalamanku” itu sendiri menandakan ketidaktahuan dan diterimanya ilusi.
Selasa, 17 September 2019
BATIN YANG TAK TERIKAT
Transformasi di dunia dihasilkan melalui transformasi diri sendiri, oleh karena diri adalah produk dan bagian dari keseluruhan proses eksistensi manusia.
Untuk mentransformasikan diri, pengenalan diri adalah mutlak perlu, tanpa mengenal apa adanya diri Anda, tidak ada landasan bagi pikiran benar, dan tanpa mengenal diri Anda sendiri tidak mungkin ada transformasi.
Kita harus mengenal diri kita seperti apa adanya, bukan seperti apa yang kita inginkan, yang hanyalah sekadar suatu cita-cita, dan oleh karena itu khayal, tidak nyata, hanya apa adanya yang dapat ditransformasikan, bukan apa yang Anda inginkan.
Mengenal diri sendiri seperti apa adanya membutuhkan kewaspadaan batin luar biasa, oleh karena apa adanya itu mengalami transformasi, perubahan terus-menerus, dan untuk dapat mengikutinya dengan cepat batin tidak boleh terikat pada suatu dogma atau kepercayaan tertentu, kepada suatu pola tindakan tertentu.
Kalau Anda ingin menelusuri sesuatu, tidak baik jika terikat. Untuk mengenal diri Anda sendiri, harus ada keadaan sadar, suatu kewaspadaan batin yang di situ terdapat kebebasan dari semua kepercayaan, dari semua idealisasi, oleh karena kepercayaan dan cita-cita hanya memberi Anda warna, yang mendistorsikan persepsi yang sebenarnya.
Jika Anda ingin mengenal apa adanya diri Anda, Anda tidak dapat membayangkan atau percaya kepada sesuatu yang bukan apa adanya diri Anda.
Jika saya serakah, cemburu, penuh kekerasan, maka hanya sekadar memiliki cita-cita tentang tanpa kekerasan, tentang tanpa keserakahan, tidak banyak bermanfaat.
Pemahaman akan apa adanya diri Anda, apa pun itu, buruk atau indah, jahat atau merugikan, pemahaman akan apa adanya diri Anda, tanpa distorsi, adalah awal dari kebajikan. Kebajikan mutlak perlu, oleh karena ia memberi kebebasan.
Untuk mentransformasikan diri, pengenalan diri adalah mutlak perlu, tanpa mengenal apa adanya diri Anda, tidak ada landasan bagi pikiran benar, dan tanpa mengenal diri Anda sendiri tidak mungkin ada transformasi.
Kita harus mengenal diri kita seperti apa adanya, bukan seperti apa yang kita inginkan, yang hanyalah sekadar suatu cita-cita, dan oleh karena itu khayal, tidak nyata, hanya apa adanya yang dapat ditransformasikan, bukan apa yang Anda inginkan.
Mengenal diri sendiri seperti apa adanya membutuhkan kewaspadaan batin luar biasa, oleh karena apa adanya itu mengalami transformasi, perubahan terus-menerus, dan untuk dapat mengikutinya dengan cepat batin tidak boleh terikat pada suatu dogma atau kepercayaan tertentu, kepada suatu pola tindakan tertentu.
Kalau Anda ingin menelusuri sesuatu, tidak baik jika terikat. Untuk mengenal diri Anda sendiri, harus ada keadaan sadar, suatu kewaspadaan batin yang di situ terdapat kebebasan dari semua kepercayaan, dari semua idealisasi, oleh karena kepercayaan dan cita-cita hanya memberi Anda warna, yang mendistorsikan persepsi yang sebenarnya.
Jika Anda ingin mengenal apa adanya diri Anda, Anda tidak dapat membayangkan atau percaya kepada sesuatu yang bukan apa adanya diri Anda.
Jika saya serakah, cemburu, penuh kekerasan, maka hanya sekadar memiliki cita-cita tentang tanpa kekerasan, tentang tanpa keserakahan, tidak banyak bermanfaat.
Pemahaman akan apa adanya diri Anda, apa pun itu, buruk atau indah, jahat atau merugikan, pemahaman akan apa adanya diri Anda, tanpa distorsi, adalah awal dari kebajikan. Kebajikan mutlak perlu, oleh karena ia memberi kebebasan.
Senin, 16 September 2019
PENGENALAN DIRI ADALAH PROSES
Jadi, untuk memahami berbagai masalah yang tak terhitung banyaknya yang dihadapi oleh kita masing-masing, tidakkah mutlak perlu untuk mengenal diri?
Dan itu adalah salah satu hal yang paling sukar, kesadaran diri yang bukan berarti isolasi, menarik diri. Jelas, mengenal diri adalah mutlak perlu, tetapi untuk mengenal diri tidak berarti menarik diri dari hubungan. Dan jelas salah untuk berpikir bahwa kita dapat mengenal diri secara bermakna, secara tuntas, secara penuh, melalui isolasi, melalui penolakan terhadap orang, atau dengan pergi kepada seorang psikolog, atau kepada seorang rohaniwan, atau bahwa kita dapat belajar mengenal diri dari sebuah buku.
Pengenalan diri adalah jelas suatu proses, bukan tujuan itu sendiri dan untuk mengenal diri, kita harus sadar akan diri kita dalam tindakan, yang adalah hubungan. Anda menemukan diri Anda, bukan dalam isolasi, bukan dalam menarik diri, melainkan dalam hubungan dalam hubungan dengan masyarakat, dengan istri Anda, dengan suami Anda, dengan saudara Anda, dengan manusia lain, tetapi untuk melihat bagaimana Anda bereaksi, apa respons Anda, hal itu membutuhkan kewaspadaan batin luar biasa, suatu ketajaman persepsi.
Dan itu adalah salah satu hal yang paling sukar, kesadaran diri yang bukan berarti isolasi, menarik diri. Jelas, mengenal diri adalah mutlak perlu, tetapi untuk mengenal diri tidak berarti menarik diri dari hubungan. Dan jelas salah untuk berpikir bahwa kita dapat mengenal diri secara bermakna, secara tuntas, secara penuh, melalui isolasi, melalui penolakan terhadap orang, atau dengan pergi kepada seorang psikolog, atau kepada seorang rohaniwan, atau bahwa kita dapat belajar mengenal diri dari sebuah buku.
Pengenalan diri adalah jelas suatu proses, bukan tujuan itu sendiri dan untuk mengenal diri, kita harus sadar akan diri kita dalam tindakan, yang adalah hubungan. Anda menemukan diri Anda, bukan dalam isolasi, bukan dalam menarik diri, melainkan dalam hubungan dalam hubungan dengan masyarakat, dengan istri Anda, dengan suami Anda, dengan saudara Anda, dengan manusia lain, tetapi untuk melihat bagaimana Anda bereaksi, apa respons Anda, hal itu membutuhkan kewaspadaan batin luar biasa, suatu ketajaman persepsi.
Minggu, 15 September 2019
DAPATKAH SAYA BERGANTUNG PADA PENGALAMAN SAYA?
Kebanyakan dari kita puas dengan otoritas karena ia memberi kita kesinambungan, kepastian, suatu rasa terlindung. Tetapi orang yang ingin memahami implikasi dari revolusi psikologis yang mendalam ini haruslah bebas dari otoritas, bukan? Ia tidak dapat mengharapkan otoritas apapun, baik yang diciptakannya sendiri maupun yang dipaksakan oleh orang lain.
Mungkinkah itu? Mungkinkah bagi saya untuk tidak bergantung pada otoritas pengalaman saya sendiri? Bahkan setelah saya membuang semua ungkapan lahiriah dari otoritas, buku, guru, rohaniwan, tempat ibadah, kepercayaan, saya masih merasa bahwa setidak-tidaknya saya dapat bergantung pada penilaian saya sendiri, pada pengalaman saya sendiri, pada analisis saya sendiri.
Tetapi dapatkah saya bergantung pada pengalaman saya, pada penilaian saya, pada analisis saya?
Pengalaman saya adalah hasil dari keterkondisian saya, persis seperti pengalaman Anda adalah hasil dari keterkondisian Anda, bukan? Saya mungkin dibesarkan sebagai seorang Muslim, atau Buddhis, atau Hindu, dan pengalaman saya ditentukan oleh latar belakang budaya, ekonomis,
sosial, dan religius, persis seperti pengalaman Anda juga. Dapatkah saya bergantung pada itu?
Dapatkah saya bergantung untuk mendapatkan tuntunan saya, harapan, penglihatan yang membuat saya yakin dalam penilaian saya sendiri, yang lagi-lagi adalah hasil dari akumulasi ingatan, pengalaman, keterkondisian masa lampau yang berjumpa dengan saat kini?
Nah, bila saya ajukan semua pertanyaan ini kepada diri saya sendiri, dan saya sadar akan masalah ini, saya melihat bahwa hanya ada satu keadaan yang disitu realitas, kebaruan, dapat muncul, yang menghasilkan suatu revolusi.
Keadaan itu adalah bila batin sama sekali kosong dari masa lampau, bila disitu tiada si penganalisis, tiada pengalaman, tiada penilaian, tiada otoritas dalam bentuk apapun.
Mungkinkah itu? Mungkinkah bagi saya untuk tidak bergantung pada otoritas pengalaman saya sendiri? Bahkan setelah saya membuang semua ungkapan lahiriah dari otoritas, buku, guru, rohaniwan, tempat ibadah, kepercayaan, saya masih merasa bahwa setidak-tidaknya saya dapat bergantung pada penilaian saya sendiri, pada pengalaman saya sendiri, pada analisis saya sendiri.
Tetapi dapatkah saya bergantung pada pengalaman saya, pada penilaian saya, pada analisis saya?
Pengalaman saya adalah hasil dari keterkondisian saya, persis seperti pengalaman Anda adalah hasil dari keterkondisian Anda, bukan? Saya mungkin dibesarkan sebagai seorang Muslim, atau Buddhis, atau Hindu, dan pengalaman saya ditentukan oleh latar belakang budaya, ekonomis,
sosial, dan religius, persis seperti pengalaman Anda juga. Dapatkah saya bergantung pada itu?
Dapatkah saya bergantung untuk mendapatkan tuntunan saya, harapan, penglihatan yang membuat saya yakin dalam penilaian saya sendiri, yang lagi-lagi adalah hasil dari akumulasi ingatan, pengalaman, keterkondisian masa lampau yang berjumpa dengan saat kini?
Nah, bila saya ajukan semua pertanyaan ini kepada diri saya sendiri, dan saya sadar akan masalah ini, saya melihat bahwa hanya ada satu keadaan yang disitu realitas, kebaruan, dapat muncul, yang menghasilkan suatu revolusi.
Keadaan itu adalah bila batin sama sekali kosong dari masa lampau, bila disitu tiada si penganalisis, tiada pengalaman, tiada penilaian, tiada otoritas dalam bentuk apapun.
Sabtu, 14 September 2019
OTORITAS MERUSAK SI PEMIMPIN MAUPUN PENGIKUT
Kesadaran diri adalah sulit, dan karena kebanyakan dari kita lebih menyenangi jalan yang mudah dan memberikan impian, kita membuat otoritas yang membentuk pola kehidupan kita.
Otoritas mungkin berupa kolektif, negara atau mungkin bersifat pribadi, Master, juru selamat, guru.
Otoritas dalam bentuk apapun membutakan, ia menghasilkan sikap tidak mau berpikir dan karena kebanyakan dari kita mendapati bahwa berpikir berarti mengalami kesakitan, kita menyerahkan diri kepada otoritas.
Otoritas menyangkut kekuasaan, dan kekuasaan selalu disentralisir dan oleh karena itu sama sekali merusak, ia merusak, bukan hanya si pemegang kekuasaan, melainkan juga merusak orang yang mengikutinya. Otoritas pengetahuan dan pengalaman adalah menyesatkan, entah itu diletakkan pada sang Master, wakilnya atau rohaniwan. Yang penting adalah hidup Anda sendiri, konflik yang tampak tak ada hentinya ini, bukan pola perilaku atau sang pemimpin. Otoritas Master dan rohaniwan mengalihkan perhatian Anda dari masalah pokok, yang adalah konflik didalam diri Anda sendiri.
Otoritas mungkin berupa kolektif, negara atau mungkin bersifat pribadi, Master, juru selamat, guru.
Otoritas dalam bentuk apapun membutakan, ia menghasilkan sikap tidak mau berpikir dan karena kebanyakan dari kita mendapati bahwa berpikir berarti mengalami kesakitan, kita menyerahkan diri kepada otoritas.
Otoritas menyangkut kekuasaan, dan kekuasaan selalu disentralisir dan oleh karena itu sama sekali merusak, ia merusak, bukan hanya si pemegang kekuasaan, melainkan juga merusak orang yang mengikutinya. Otoritas pengetahuan dan pengalaman adalah menyesatkan, entah itu diletakkan pada sang Master, wakilnya atau rohaniwan. Yang penting adalah hidup Anda sendiri, konflik yang tampak tak ada hentinya ini, bukan pola perilaku atau sang pemimpin. Otoritas Master dan rohaniwan mengalihkan perhatian Anda dari masalah pokok, yang adalah konflik didalam diri Anda sendiri.
Jumat, 13 September 2019
MENGAPA KITA MENJADI PENGIKUT?
Mengapa kita menerima, mengapa kita menjadi pengikut? Kita mengikuti otoritas orang lain, pengalaman orang lain, lalu meragukannya, pencarian otoritas ini, beserta ikutannya yakni kekecewaan, adalah proses yang menyakitkan bagi kebanyakan dari kita.
Kita menyalahkan atau mengritik otoritas, pemimpin, guru yang dulu diterima, tetapi kita tidak menyelidiki kehausan kita sendiri akan otoritas yang dapat menuntun perilaku kita, sekali kita memahami kehausan ini, kita akan memahami pula makna keraguan.
Kita menyalahkan atau mengritik otoritas, pemimpin, guru yang dulu diterima, tetapi kita tidak menyelidiki kehausan kita sendiri akan otoritas yang dapat menuntun perilaku kita, sekali kita memahami kehausan ini, kita akan memahami pula makna keraguan.
Kamis, 12 September 2019
PEMBEBASAN DARI KETIDAKTAHUAN, DARI KESEDIHAN
Kita menyimak dengan harapan dan ketakutan, kita mencari cahaya orang lain, tetapi tidak bersikap pasif dengan waspada untuk dapat memahami. Jika orang yang telah bebas tampak memenuhi keinginan kita, kita menerimanya, jika tidak, kita terus mencari orang yang akan memenuhi keinginan kita dan yang diinginkan oleh kebanyakan kita adalah pemuasan pada berbagai tingkat.
Yang penting bukanlah bagaimana mengenali orang yang telah bebas, melainkan bagaimana memahami diri Anda. Tidak ada otoritas disini sekarang, atau di akhirat nanti, yang dapat memberi Anda pengetahuan tentang diri Anda, tanpa pengenalan-diri tidak ada pembebasan dari ketidaktahuan, dari kesedihan.
Yang penting bukanlah bagaimana mengenali orang yang telah bebas, melainkan bagaimana memahami diri Anda. Tidak ada otoritas disini sekarang, atau di akhirat nanti, yang dapat memberi Anda pengetahuan tentang diri Anda, tanpa pengenalan-diri tidak ada pembebasan dari ketidaktahuan, dari kesedihan.
Rabu, 11 September 2019
BEBAS SEJAK AWAL
Jika kita bisa memahami dorongan dibalik keinginan kita untuk menguasai atau dikuasai, maka mungkin kita bisa bebas dari efek memasung dari otoritas.
Kita ingin merasa pasti, merasa benar, memperoleh sukses, mengetahui dan keinginan akan kepastian ini, akan keabadian, didalam diri kita membangun otoritas pengalaman pribadi, sementara diluar membangun otoritas masyarakat, keluarga, agama, dan sebagainya. Tetapi sekadar mengabaikan otoritas saja, membuang simbol-simbol lahiriahnya saja, sangat sedikit maknanya.
Melepaskan diri dari suatu tradisi dan memeluk tradisi lain, meninggalkan pemimpin ini dan mengikuti pemimpin itu, adalah suatu perilaku yang dangkal.
Jika kita ingin menyadari seluruh proses otoritas, jika kita ingin melihat sifatnya yang tertuju kedalam, jika kita ingin memahami dan mengatasi keinginan akan kepastian, maka kita harus memiliki kesadaran dan pencerahan yang luas, kita harus bebas, bukan pada akhir, melainkan sejak awal.
Kita ingin merasa pasti, merasa benar, memperoleh sukses, mengetahui dan keinginan akan kepastian ini, akan keabadian, didalam diri kita membangun otoritas pengalaman pribadi, sementara diluar membangun otoritas masyarakat, keluarga, agama, dan sebagainya. Tetapi sekadar mengabaikan otoritas saja, membuang simbol-simbol lahiriahnya saja, sangat sedikit maknanya.
Melepaskan diri dari suatu tradisi dan memeluk tradisi lain, meninggalkan pemimpin ini dan mengikuti pemimpin itu, adalah suatu perilaku yang dangkal.
Jika kita ingin menyadari seluruh proses otoritas, jika kita ingin melihat sifatnya yang tertuju kedalam, jika kita ingin memahami dan mengatasi keinginan akan kepastian, maka kita harus memiliki kesadaran dan pencerahan yang luas, kita harus bebas, bukan pada akhir, melainkan sejak awal.
Selasa, 10 September 2019
BATIN YANG TUA TERIKAT OLEH OTORITAS
Masalahnya adalah: mungkinkah batin yang begitu terkondisi, terdidik dalam sekte, agama yang tak terhitung banyaknya, dan segala takhayul, ketakutan, melepaskan diri dari dirinya sendiri dan dengan demikian menghasilkan batin yang baru?
Batin yang tua pada dasarnya adalah batin yang terikat oleh otoritas. Saya tidak menggunakan istilah ‘otoritas’ dalam arti hokum, yang saya maksud dengan kata itu adalah otoritas sebagai tradisi, otoritas sebagai pengetahuan, otoritas sebagai pengalaman, otoritas sebagai cara untuk memperoleh rasa aman dan tinggal dalam rasa aman itu, secara lahiriah atau batiniah, oleh karena bagaimana pun juga, itulah yang selalu dicari oleh batin, suatu tempat yang disitu ia bisa merasa aman, tak terganggu.
Otoritas seperti itu mungkin otoritas sebuah gagasan yang diterapkan sendiri, atau apa yang disebut gagasan religius tentang Tuhan, yang tidak punya realitas bagi orang yang benar-benar religius. Gagasan bukan fakta, tapi fiksi. Tuhan adalah fiksi, Anda mungkin percaya itu, tapi itu tetap fiksi. Tetapi untuk menemukan Tuhan, Anda harus menghancurkan fiksi itu sepenuhnya, oleh karena batin yang tua adalah batin yang takut, yang ambisius, yang takut mati, takut hidup, dan takut berhubungan, dan batin seperti itu terus-menerus, sadar atau tidak sadar, mencari sesuatu yang abadi, mencari rasa aman.
Batin yang tua pada dasarnya adalah batin yang terikat oleh otoritas. Saya tidak menggunakan istilah ‘otoritas’ dalam arti hokum, yang saya maksud dengan kata itu adalah otoritas sebagai tradisi, otoritas sebagai pengetahuan, otoritas sebagai pengalaman, otoritas sebagai cara untuk memperoleh rasa aman dan tinggal dalam rasa aman itu, secara lahiriah atau batiniah, oleh karena bagaimana pun juga, itulah yang selalu dicari oleh batin, suatu tempat yang disitu ia bisa merasa aman, tak terganggu.
Otoritas seperti itu mungkin otoritas sebuah gagasan yang diterapkan sendiri, atau apa yang disebut gagasan religius tentang Tuhan, yang tidak punya realitas bagi orang yang benar-benar religius. Gagasan bukan fakta, tapi fiksi. Tuhan adalah fiksi, Anda mungkin percaya itu, tapi itu tetap fiksi. Tetapi untuk menemukan Tuhan, Anda harus menghancurkan fiksi itu sepenuhnya, oleh karena batin yang tua adalah batin yang takut, yang ambisius, yang takut mati, takut hidup, dan takut berhubungan, dan batin seperti itu terus-menerus, sadar atau tidak sadar, mencari sesuatu yang abadi, mencari rasa aman.
Senin, 09 September 2019
MENGHANCURKAN ADALAH MENCIPTAKAN
Untuk bebas Anda harus memeriksa otoritas, seluruh kerangka otoritas, mencabik-cabik seluruh hal yang kotor itu. Dan itu membutuhkan energi, energi fisik sesungguhnya, dan itu juga menuntut energi psikologis. Tetapi energi itu musnah, terbuang percuma, bila kita berada dalam konflik. Jadi, bila terdapat pemahaman akan seluruh proses konflik, maka terjadilah pengakhiran dari konflik, dan terdapat energi berlimpah. Lalu Anda dapat melanjutkan terus, meruntuhkan rumah yang telah Anda bangun selama berabad-abad dan tidak punya makna sama sekali.
Anda tahu, menghancurkan adalah menciptakan. Kita harus menghancurkan, bukan bangunan fisik, bukan sistem sosial atau ekonomi, ini terjadi setiap hari, melainkan pertahanan-pertahanan psikologis, baik yang disadari atau tak disadari, rasa aman yang telah kita bangun secara rasional, individual, mendalam, atau dangkal. Kita harus meruntuhkan semua itu agar kita sepenuhnya tanpa pertahanan, karena Anda harus tanpa pertahanan untuk dapat mencinta dan merasakan kasih sayang. Maka Anda akan melihat dan memahami ambisi, otoritas, dan Anda mulai melihat kapan otoritas perlu dan pada tingkat mana, otoritas polisi dan tidak lebih. Maka tiada otoritas pembelajaran, tiada otoritas pengetahuan, tiada otoritas kemampuan, tiada otoritas yang diambil oleh fungsi dan yang menjadi kedudukan. Memahami seluruh otoritas, dari guru-guru, Master-Master, dan lain-lain, membutuhkan batin yang amat tajam, otak yang jernih, bukan otak yang keruh, bukan otak yang tumpul.
Anda tahu, menghancurkan adalah menciptakan. Kita harus menghancurkan, bukan bangunan fisik, bukan sistem sosial atau ekonomi, ini terjadi setiap hari, melainkan pertahanan-pertahanan psikologis, baik yang disadari atau tak disadari, rasa aman yang telah kita bangun secara rasional, individual, mendalam, atau dangkal. Kita harus meruntuhkan semua itu agar kita sepenuhnya tanpa pertahanan, karena Anda harus tanpa pertahanan untuk dapat mencinta dan merasakan kasih sayang. Maka Anda akan melihat dan memahami ambisi, otoritas, dan Anda mulai melihat kapan otoritas perlu dan pada tingkat mana, otoritas polisi dan tidak lebih. Maka tiada otoritas pembelajaran, tiada otoritas pengetahuan, tiada otoritas kemampuan, tiada otoritas yang diambil oleh fungsi dan yang menjadi kedudukan. Memahami seluruh otoritas, dari guru-guru, Master-Master, dan lain-lain, membutuhkan batin yang amat tajam, otak yang jernih, bukan otak yang keruh, bukan otak yang tumpul.
Minggu, 08 September 2019
KEBAJIKAN TIDAK PUNYA OTORITAS
Dapatkah batin bebas dari otoritas, yang berarti bebas dari rasa takut, sehingga ia tidak mungkin lagi menjadi pengikut? Jika ya, ini mengakhiri peniruan, yang menjadi mekanis.
Bagaimanapun juga, kebajikan, etika, bukanlah mengulang-ulang apa yang baik. Pada saat itu menjadi mekanis, itu bukan lagi kebajikan. Kebajikan adalah sesuatu yang harus berlangsung dari saat ke saat, seperti kerendahan hati.
Kerendahan hati tidak bisa dipupuk, dan batin yang tidak punya kerendahan hati tidak bisa belajar. Jadi kebajikan tidak punya otoritas.
Moralitas masyarakat bukan moralitas sama sekali, itu bahkan tidak bermoral karena mengakui kompetisi, keserakahan, ambisi, dan oleh karena itu masyarakat justru mendorong imoralitas.
Kebajikan adalah sesuatu yang mengatasi moralitas. Tanpa kebajikan tidak ada ketertiban, dan ketertiban bukan menurut suatu pola, menurut suatu rumusan. Batin yang mengikuti suatu rumusan dengan mendisiplinkan dirinya sendiri untuk mencapai kebajikan akan menciptakan masalah imoralitas bagi dirinya sendiri.
Suatu otoritas luar yang diobyektifkan oleh batin, selain dari hokum, sebagai Tuhan, sebagai moralitas dan sebagainya menjadi destruktif ketika batin berupaya memahami apa kebajikan sejati itu.
Kita memiliki otoritas kita sendiri sebagai pengalaman, sebagai pengetahuan, yang kita coba ikuti. Terdapat pengulangan, peniruan terus-menerus yang kita kenal ini. Otoritas psikologis, bukan otoritas hukum, atau polisi yang menjaga ketertiban, otoritas psikologis, yang dimiliki setiap orang, menghancurkan kebajikan karena kebajikan adalah sesuatu yang hidup, bergerak. Seperti Anda tidak mungkin memupuk kebajikan, seperti Anda tidak mungkin memupuk cinta, begitu pula Anda tidak mungkin memupuk kebajikan, dan disitu terdapat keindahan yang luhur.
Kebajikan adalah nonmekanis, dan tanpa kebajikan tidak ada landasan untuk berpikir secara jernih.
Bagaimanapun juga, kebajikan, etika, bukanlah mengulang-ulang apa yang baik. Pada saat itu menjadi mekanis, itu bukan lagi kebajikan. Kebajikan adalah sesuatu yang harus berlangsung dari saat ke saat, seperti kerendahan hati.
Kerendahan hati tidak bisa dipupuk, dan batin yang tidak punya kerendahan hati tidak bisa belajar. Jadi kebajikan tidak punya otoritas.
Moralitas masyarakat bukan moralitas sama sekali, itu bahkan tidak bermoral karena mengakui kompetisi, keserakahan, ambisi, dan oleh karena itu masyarakat justru mendorong imoralitas.
Kebajikan adalah sesuatu yang mengatasi moralitas. Tanpa kebajikan tidak ada ketertiban, dan ketertiban bukan menurut suatu pola, menurut suatu rumusan. Batin yang mengikuti suatu rumusan dengan mendisiplinkan dirinya sendiri untuk mencapai kebajikan akan menciptakan masalah imoralitas bagi dirinya sendiri.
Suatu otoritas luar yang diobyektifkan oleh batin, selain dari hokum, sebagai Tuhan, sebagai moralitas dan sebagainya menjadi destruktif ketika batin berupaya memahami apa kebajikan sejati itu.
Kita memiliki otoritas kita sendiri sebagai pengalaman, sebagai pengetahuan, yang kita coba ikuti. Terdapat pengulangan, peniruan terus-menerus yang kita kenal ini. Otoritas psikologis, bukan otoritas hukum, atau polisi yang menjaga ketertiban, otoritas psikologis, yang dimiliki setiap orang, menghancurkan kebajikan karena kebajikan adalah sesuatu yang hidup, bergerak. Seperti Anda tidak mungkin memupuk kebajikan, seperti Anda tidak mungkin memupuk cinta, begitu pula Anda tidak mungkin memupuk kebajikan, dan disitu terdapat keindahan yang luhur.
Kebajikan adalah nonmekanis, dan tanpa kebajikan tidak ada landasan untuk berpikir secara jernih.
Selasa, 03 September 2019
MEMANDANG DENGAN INTENSITAS
Saya rasa, belajar adalah sangat sukar, seperti menyimak. Kita tidak pernah sungguh-sungguh menyimak kepada sesuatu karena batin kita tidak bebas, telinga kita tersumbat oleh hal-hal yang sudah kita ketahui, dengan demikian menyimak menjadi luar biasa sulit. Saya rasa, atau lebih tepat, faktanya, jika kita dapat menyimak kepada sesuatu dengan seluruh diri kita, dengan tekun, dengan vitalitas, maka tindakan menyimak itu sendiri merupakan faktor yang membebaskan. Tetapi sayang sekali, Anda tidak pernah menyimak, terbukti Anda tidak pernah belajar dari situ. Bagaimanapun juga, Anda hanya belajar bila Anda memberikan seluruh diri Anda kepada sesuatu. Bila Anda memberikan seluruh diri Anda kepada matematika, Anda belajar. Tetapi bila Anda berada dalam keadaan kontradiksi, bila Anda tidak ingin belajar tapi terpaksa belajar, maka itu menjadi sekadar proses penimbunan. Belajar itu seperti membaca novel dengan tokoh-tokoh yang amat banyak, ia menuntut perhatian penuh dari Anda, bukan perhatian yang saling bertentangan. Jika Anda ingin mempelajari sehelai daun, sehelai daun di musim semi atau sehelai daun di musim panas, Anda harus sungguh-sungguh memandangnya, melihat simetrinya, teksturnya, sifat dari daun yang hidup. Ada keindahan, ada kegiatan, ada vitalitas didalam sehelai daun. Jadi untuk belajar tentang daun, bunga, awan, matahari yang terbenam, atau seorang manusia, Anda harus memandang dengan intensitas sepenuhnya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Yoga-Kundalini Upanishad Bab III
1. Melana-Mantra: Hrim, Bham, Sam, Pam, Pham, Sam, Ksham. Kelahiran teratai (Brahma) berkata: “O Shankara, (di antara) bulan baru (hari pert...
-
Burung Derkuku diam sejenak, kemudian bertanya lagi seperti ini: Perkutut, masih ada satu masalah yang belum begitu paham dalam pikiranku, y...
-
Sutra 1.1 Penjelasan Yoga. Sutra 1.2 Yoga adalah pengendalian aktifitas mental. Sutra 1.3 Kemudian kesadaran berdiam dalam bentuknya yang es...
-
Ketika seseorang memutuskan untuk berjalan kesebuah tempat, dia memiliki pikiran rasional, misalnya, “Apabila aku pergi kesana, kepergianku ...