Kemarahan mengalami evolusi terutama sebagai motivasi untuk memppertahankan wilayah. Ini berarti kejadian yang membuat kita marah adalah pelanggaran wilayah, pelanggaran hak, ketidakadilan, atau pelecehan, entah itu bersifat nyata atau hanya dalam imajinasi kita.
Kita semua marah kalau dianggap remeh. Sebagian orang marah ketika mereka ditolak. Kemarahan sebagai respon tehadap penolakan memiliki dua macam potensi. Entah kita menganggap teman atau kekasih sebagai hak milik sehingga kemarahan kita adalah kemarahan karena wilayah, atau kita merasa rapuh sehingga otak kera kita meyakinkan bahwa kalau kita sendirian maka kita akan mati. Jika demikian, kemarahan kita kepada seseorang yang kita anggap akan membinasakan kita dengan cara meninggalkan kita.
1. apabila cinta kita dapat berbalik menjadi kebencian ketika seseorang meninggalkan kita, kita perlu mempertanyakan seberapa tulus cinta kita sebenarnya.
2. semakin kita tidak suka pada diri sendiri, semakin besar resiko kita secara sengaja memompa kemarahan kita agar dapat memblok perasaan tidak berdaya akibat rasa gelisah dan putus asa. Menggunakan kemarahan sebagai obat adalah cara mencari jalan pintas.
3. apabilakita marah terhadap sesuatu, sepantasnya kita melihat diri sendiri, sebab bisa saja sebagian kemarahan itu adalah terhadap diri sendiri. Kita mungkin marah sebab kita telah membuat diri sendiri merasa kecil. Kita memutuskan kalau kita lemah, terlalu murah hati atau tidak mampu mebela diri sendiri. Jika kita mendengar diri sendiri memprotes bahwa kita telah dimanfaatkan oleh orang lain, bisa saja itu disebabkan kita merasa belum mendapatkan cinta dan penghargaan yang kita rasa pantas untuk diterima.
4. observasi juga perlu sebaliknya. Siapapun yang marah terhadap kita tanpa alasan yang jelas melakukannya karena ia merasa buruk terhadap diri sendiri. Jika observasi singkat atas nurani kita menunjukkan kita tidak berbuat salah, itu artinya orang yang marah kepada kita berusaha menyerang kita sebelum kita dapat menolak atau menunjukkan kelemahan yang ada pada dirinya.
- An Intelligent Life, Julian Short
Tidak ada komentar:
Posting Komentar