Ketika seseorang memutuskan untuk berjalan kesebuah tempat, dia memiliki pikiran rasional, misalnya, “Apabila aku pergi kesana, kepergianku tentu akan berguna. Aku akan dapat menyelesaikan banyak hal. Urusanku akan jadi teratur, teman-temanku akan senang dan aku akan mengungguli musuhku”. Ini adalah pernyataan. Meski demikian, maksud Tuhan bisa jadi sesuatu yang lain seluruhnya. Demikian banyak strategi dibuat manusia dan demikian banyak usulan dipikirkannya, tetapi tidak satupun yang bisa dicapainya dengan memuaskan. Meski demikian, dia akan terus mengandalkan strateginya dan kebebasannya untuk memilih.
Manusia berharap, tidak menyadari pengurusan,
Dalam pengurusan Tuhan, harapan menjadi lenyap.
Ini seperti seseorang yang bermimpi, dia menjadi seorang yang asing disebuah kota. Dia tidak kenal seorangpun disana dan tidak seorangpun yang mengenalnya. Maka dia berkenalan dalam kebingungan. Orang tersebut, yang diliputi penyesalan dan kesedihan, bertanya, “Kenapa aku harus datang ke kota ini, padahal aku tidak memiliki teman atau kenalan?” dia menamparkan tangannya dan mencubit bibirnya. Ketika bangun, dia tidak melihat kota ataupun orang-orang, maka dia sadar segala duka cita dan penyesalannya tidak berguna. Dia menyesal telah bekerja sendiri dalam keadaan seperti itu dan menganggapnya sia-sia. Ketika dia kembali tidur dan bermimpi dirinya di kota lain seperti yang pertama, dia mulai lagi merasa menyesal dan berduka karena datang ketempat seperti itu. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa ketika dia terjaga dia pernah menyesali duka cita sebelumnya, sadar itu telah menjadi kesia-siaan, hanya mimpi yang tiada arti. Sekarang terjadi lagi hal seperti itu. Ribuan kali orang melihat harapan, usulan dan rencana muncul dalam kekosongan. Semuanya tidak membuat kemajuan apapun terhadap keinginannya. Meski demikian, Tuhan melemparkan kelupaan diatas mereka hingga melupakan segalanya. Mereka mengikuti gagasn dan pilihannya sendiri. Tuhan berada diantara manusia dan diatas hatinya (QS. 8 : 24).
Ketika masih menjadi raja. Ibrahim Adham pergi berburu. Karena mengejar rusa, dia menjadi terpisah dari pasukannya. Meskipun kudanya basah kuyup oleh keringat, dia terus melarikan kuda tersebut. Setelah melewati akhir dataran, rusa itu berbalik dan berkata, “Engkau diciptakan bukan untuk hal semacam ini! Engkau tidak dibawa dari dunia ketidakberasdaan (non-existence) menuju dunia keberadaan (existence) hanya untuk memburuku. Anggaplah engkau menangkap aku. Kemudian, apa yang akan engkau lakukan?” mendengar hal itu, Ibrahim menjerit dan loncat dari atas kudanya. Tidak ada siapapun di dunia yang buas itu selain seorang penggembala yang kepadanya dia meminta untuk mengambil tanda-tanda kerajaannya, pakaian bertabur permata, senjata dan kudanya. “Ambillah ini” dia berkata, “dan berikan kepadaku mantel tebalmu. ‘Tetapi jangan katakan kepada siapapun dan jangan berikan kepada siapapun tanda-tanda yang kuberikan”. Dengan memakai mantel kasarnya, dia berangkat diatas jalannya sendiri.
Sekarang, lihatlah yang menjadi perhatiannya! Apakah ini? Apakah yang menjadi perhatian Tuhan? Ibrahim ingin menjadikan rusa sebagai mangsanya, tetapi Tuhan menjadikan dia sebagai mangsa rusa. Itu terjadi agar kalian menyadari bahwa apapun yang terjadi di dunia, semuanya ada dalam kehendak Tuhan. Semuanya terjadi selaras dengan kerajan-Nya dan sesuai dengan maksud Tuhan.
Suatu saat, sebelum menjadi Muslim, Umar pergi ke rumah adik perempuannya. Saat tiba disana, adiknya sedang melantunkan Surah Thaha dari Al-Qur’an keras-keras. Tetapi ketika adik perempuannya melihat Umar datang, dia berdiam diri dan menyembunyikan Al-Qur’an. Umar menghunuskan pedangnya dan berkata, “Katakan kepadaku, apa yang sedang engaku baca dan kenapa engkau langsung menyembunyikannya ketika aku datang. Atau aku akan langsung memotong kepalamu dengan pedangku dan tidak memberimu ampun!”
Mengetahui kesungguhan ancaman dan kekejaman Umar, adiknya yang merasa takut atas kehidupannya, akhirnya mengaku, “Aku sedang memabca ayat-ayat yang telah diwahyukan Tuhan diwaktu terakhir ini kepada Muhammad”.
“Bacalah lagi apa yang tadi engkau baca dan aku akan mendengarkannya”, kata Umar. Maka adiknya kembali membaca surat Thaha. Umar menjadi ribuan kali lebih murka dan mengatakan, ‘Apabila aku membunuhmu sekarang, itu tentu akan menjadi pembunuhan yang tidak pantas. Pertama-tama aku mesti pergi dan memotong leher Muhammad dan baru kemudian aku akan membunuhmu!” dan demikianlah, dengan penuh kemarahan, sambil mengayun-ayunkan pedangnya yang terhunus, Umar memutuskan untuk pergi menuju masjid Rasulullah.
Ketika beberapa petinggi suku Quraisy melihat Umar sedang bergegas kearah itu, mereka berkata, “Umar bermaksud menuju Muhammad. Apabila ada seseorang yang berani melakukan apapun, itu tentu Umar”. Umar dikenal sebagai lelaki kuat perkasa dan jantan, dia akan menaklukkan suatu kaum dan kembali dengan kejam untuk mengalahkan pasukan manapun yang dia hadapi. (Bahkan Nabi Muhammad selalu mengatakan tentang dia, “Ya Tuhan, menangkanlah agamaku melalu Umar atau Abu Jahal,” karena pada saat itu keduanya dikenal dengan keberanian dan kejantanannya. (Ketika Umar akhirnya menjadi seorang Muslim, dia meratap dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa jadinya jika engkau menyebutkan Abu Jahl! Pertama dan berkata, “Ya Tuhan, menangkanlah agamaku melalui Abu Jahl atau Umar”. Apa yang akan terjadi kepadaku? Mungkin aku akan tetap berada diatas jalan yang salah”).
Meski demikian, sementara dia berjalan menuju masjid Nabi, dengan pedang terhunus ditangan, Jibril turun membawa wahyu kepada Nabi Muhammad. Dia mengabari Nabi Muhammad bahwa Umar akan datang untuk menerima Islam dan Nabi harus menerimanya. Ketika Umar memasuki masjid dia melihat dengan jernih sebuah anak panah yang terbang dari Nabi dan menikam hatinya. Dia dibiarkan menangis dan jatuh tidak sadarkan diri. Kasih sayang dan cinta, lahir dari jiwanya. Dalam cinta yang agung itu, Umar ingin hilang dan termakan didalam diri Rasul.
“Sekarang, wahai Nabi Allah”, kata Umar, “tawarilah aku iman dan ucapkanlah kata-kata yang penuh berkah itu agar aku bisa mendengarkannya!” Ketika Umar telah menjadi Muslim, dia berkata, “Dengan penuh rasa syukur serta keinginan untuk menebus dosa karena telah datang kepadamu dengan berhunus pedang, maka aku katakan disini bahwa aku tak akan memberi ampun kepada siapapun yang meremehkanmu. Dengan pedang ini pula, aku akan langsung memisahkan kepala dari tubuhnya!”
Begitu Umar muncul diluar masjid, ayahnya mendekati dia dan berkata, “Engkau telah mengubah agamamu!” Dengan gerakan yang cepat Umar mengayunkan pedang dan memenggal kepala orang itu. Kemudian dia berjalan pergi, dengan pedang yang berlumuran darah tergenggam ditangannya. Ketika orang-orang suku Quraisy melihat pedang, mereka berkata, “Engkau berjanji untuk kembali membawa kepala, mana kepala yang kau janjikan itu?”
“Ini kepala yang kujanjikan,” Jawab Umar.
“Engkau membawa kepala ini dari tempat itu?” satu diantara mereka bertanya.
“Tidak,” jawab Umar, “kepala ini bukan dari tempat itu. Tetapi dari yang lain”.
Sekarang, apabila engkau mempertimbangkan apa kehendak Umar dan bagaimana kehendak Tuhan, akan disadari bahwa segala hal ternyata berjalan atas kehendak Tuhan.
Umar bergegas menuju Rasul, dengan pedang terhunus.
Dia jatuh jadi mangsa Tuhan dan tersenyum dengan penuh keberentungan.
Apabila engkaupun ditanya apa yang telah engkau bawa, maka katakanlah, “Aku telah membawa kepala”. Apabila mereka berkata, “Kami sudah pernah melihat kepala ini sebelumnya,” katakan pada mereka bahwa apa yang engkau bawa bukan kepala yang mereka maksudkan. Kepala (sar) adalah yang didalamnya terdapat rahasia (Sirr). Kalau tidak ada rahasia didalamnya, seribu kepala tidak akan berharga satu sen pun!
Engkau pernah membaca ayat yang mengatakan, “Dan ketika kami menentukan rumah suci Makkah jadi tempat berkunjung umat manusia dan tempat yang aman”, dan katakan, “Jadikanlah maqam Ibrahim untuk tempat Shalat”. (QS. 2 : 125), Ibrahim berkata, “Ya Tuhan, karena Engkau telah memuliakan aku dengan kenikmatan yang Engkau berikan dan telah memilih aku, sediakan juga untuk keturunanku kebaikan ini!”
Tuhan menjawab, “Ketentuan Kami tidak dipahami oleh orang yang tidak bertuhan” (QS. 124), yakni mereka yang tidak adil, tidak layak dengan kebaikan-Ku.
Maka, Ibrahim, sadar bahwa kebaikan Tuhan tidak untuk orang yang tidak adil dan pemberontak. Kemudian dia membuat syarat dan berkata, “Ya Tuhan, berilah mereka yang memiliki iman dan adil satu bagian didalam berkah-Mu dan jangan Engkau tahan mereka dari berkah-Mu!”
“Roti biasa tersedia sangat banyak,” kata Tuhan. “Semua memiliki bagian didalamnya. Seluruh makhluk boleh mendapatkan manfaat atas “rumah tamu” ini, tetapi pakaian khusus kenikmatan, penerimaan dan kebaikan-Ku adalah takdir bagi orang-orang yang diangkat dan terpilih”.
Kaum tekstualis akan berkata bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah Ka’bah, karena siapapun yang menyelamatkan diri kesana, dia akan dilindungi dari malapetaka dan memasuki “permainan terlarang” yang tidak membahayakan. Mereka menjadi orang-orang pilihan Tuhan. Pendapat seperti itu memang benar dan baik, tetapi itu baru menyentuh bagian luar dari Al-Qur’an. Para mistik mengatakan bahwa yang dimaksud “rumah” itu adalah suatu bagian dalam diri manusia. Mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, kosongkanlah bagian ‘dalam’ diriku dari godaan dan keasyikan badaniah. Murnikanlah pikiran yang kotor, jelek dan melankolis, hingga tiada ketakutan lagi disana. Hingga rasa aman itu mengejawantah dan betul-betul jadi tempat wahyu-Mu. Biarkanlah disana tidak ada jalan masuk untuk godaan setan dan iblis, sebagaimana Tuhan telah menempatkan meteor didalam surga untuk menghalangi iblis dari mendengar rahasia malaikat dan menjaga mereka dari malapetaka. Ya Tuhan, tempatkan pengawal kebaikan-Mu diatas batin kami untuk menjaga kami dari godaan setan dan tipuan jiwa badaniah!” itulah yang dikatakan kaum esoterik dan mistik.
Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam melakukan sesuatu hal. Al-Qur’an adalah brokat dengan dua sisi. Meskipun sejumlah orang memperoleh manfaat dari satu sisi itu dan sejumlah lagi dari sisi lain, mereka keduanya benar karena Tuhan menginginkan kedua kelompok itu memperoleh manfaat. Seperti perempuan yang memiliki suami dan juga merawat anak kecil, masing-masing memperoleh kenikmatan berbeda dari dirinya. Anak kecil dari sisi didalam payudaranya dan suami memperoleh kenikmatan karena menjadi pasangannya. Orang yang mengambil kenikmatan luar dari Al-Qur’an dan “meminum susunya” adalah anak kecil dari jalan”, tetapi mereka yang memperoleh kesempurnaan, memiliki kenikmatan berbeda dan memahami makna Al-Quran dengan cara yang berbeda.
Tempat dan maqam Ibrahim yang terletak didekat Ka’bah adalah titik tempat kaum tekstualis berkata bahwa seseorang mesti melakukan shalat dua rakaat. Ini tentu benar dan baik. Meski demikian, bagi kaum mistik maqam Ibrahim adalah tempat dimana orang mesti menjadi seperti Ibrahim dan melontarkan dirinya kedalam api atas nama Tuhan, setelah itu dia mengasingkan dirinya melalui usaha keras dan upaya dalam maqamnya atau mendekatinya. Kemudian dia akan mengorbankan dirinya atas Nama Tuhan, yakni dia tidak lagi memiliki perhatian atau ketakutan untuk jiwa badaniahnya. Dan rakaat shalat di maqam Ibrahim memang bagus, tetapi dia harus mengerjakan shalatnya dengan cara tertentu sehingga bagian berdirinya berada di dunia ini dan bagian sujud, di dunia lain.
Makna Ka’bah adalah hati Nabi dan orang suci, tempat wahyu Tuhan dan Ka’bah hanyalah cabang. Apabila tidak ada hati, apa maksud yang disediakan Ka’bah? Orang suci dan nabi, telah benar-benar membuang hasrat mereka, mengikuti hasrat Tuhan dan melakukan apapun yang Dia perintahkan. Mereka merasa tersiksa dan melihat dengan pandangan yang iba kepada orang-orang yang tidak berada didalam kebaikan dan rahmat-Nya, bahkan bila mereka adalah ayah ataupun ibunya.
Kami telah memberikan kedalam genggamanmu.
Kendali atas hati kami.
Yang engkau sebut telah masak aku namakan telah terbakar.
Apa yang aku katakan disini hanyalah analogi (kiasan), bukan suatu paralelisme yang serupa. Kiasan adalah satu hal, sedangkan kesamaan (paralel) adalah hal lain. Dengan kiasan Tuhan menyerupakan cahaya-Nya dengan lampu dan dengan kiasan juga Dia menyerupakan keberadaan orang suci dengan kaca lampu. Apabila cahaya-Nya tidak sesuai dengan ruangan, bagaimana mungkin hal itu akan sesuai dengan lampu atau kaca? Bagaimana mungkin sinar dari cahaya Tuhan akan cocok kedalam hati? Mereka ketika mencari, engkau akan menemukannya disana, bukan dari sudut pandang pemahanan seperti itu dapat dikatakan bahwa cahaya berada didalam tempat itu.
Benda yang tampaknya tidak terpahami, kemudian menjadi bisa terpahami ketika diletakkan dalam bentuk analogi. Itu seperti, katakanlah, ketika engkau menutup mata dan melihat “secara inderawi” berbagai hal, bentuk dan susunan yang menakjubkan. Tetapi ketika membuka mata kembali, engkau tidak melihat apapun. Tidak seorangpun akan mempertimbangkan ini “terpahami”. Tidak seorangpun akan mempercayai hal itu kecuali engkau meletakkannya dalam bentuk analogi. Dan dengan cara itulah, ia itu akan dapat dipahami. Seperti apa rupanya? Itu seperti orang yang melihat dalam mimpi ratusan ribu benda, tidak satupun dari benda-benda itu yang akan terlihat ketika dia bangun.
Seperti seorang arsitek yang membayangkan sebuah rumah, panjangnya, lebarnya dan bentuknya, didalam pikirannya sendiri. Bayangannya tidak akan dapat dipahami oleh siapapun kecuali arsitek menggambarkannya pada secarik kertas. Pada saat itulah gambar rumah akan terlihat. Ketika mengungkapkan bagaimana hal itu akan terjadi, barulah ia dapat dipahami. Setelah itu, setelah dapat dipahami, rumah dapat dibangun dan dengan cara itu, jadi dapat terlihat. Maka, dapat dipahami bahwa semua yang tidak dapat dipahami jadi dapat dipahami dan dapat dilihat melalui analogi.
Sekali lagi dikatakan bahwa di dunia lain, dunia sana, buku-buku akan terbang, sebagian ke tangan kanan, sebagian lagi ke tangan kiri. Disana juga akan ada malaikat. Singgasna Tuhan, api neraka dan surga, mizan, perhitungan dan pembalasan. Tidak satupun dari hal itu dapat dipahami kecuali dikatakan dengan kiasan (analogi). Meskipun tidak terdapat kesamaan untuk hal-hal itu di dunia, mereka dapat diungkapkan dengan kiasan. Dengan kiasan, dapat dikatakan bahwa di dunia ini segala ciptaan, tukang sepatu dan raja, hakim dan penjahit sama saja, pergi tidur pada malam hari. Ketika tertidur, pikiran mereka melayang-layang dan tidak seorangpun ditinggalkan dengan pikiran apapun sampai fajar, seperti tiupan Israfil pada terompet yang akan menyadarkan debu seluruh tubuh, setiap pikiran manusia kembali bagaikan “buku terbang” kepada pemiliknya tanpa salah, pikiran penjahit kepada penjahit, hakim kepada hakim, pandai besi kepada pandai besi, tiran kepada tiran dan orang adil kepada orang adil. Tidak seorangpun tidur pada malam hari sebagai penjahit dan bangun esok harinya jadi pembuat sepatu. Apapun kesibukan seseorang, pada keasyikan itulah, ia akan kembali. Maka engkau dapat lihat betapa kenyataan seperti itu ada di dunia lain disini. Seseorang harus mengalami pewahyuan agar bisa menyadari bahwa segala sesuatu memang berada didalam kuasa Tuhan. Banyak tulang yang engkau lihat membusuk didalam kuburan, menikmati istirahat dengan tenang dan tidur memabukkan. Bukan suatu yang tanpa makna bereka berkata. “Semoga bumi berbaring tenang dengannya”. Apabia bumi tidak menyadari adanya kesenangan, bagaimana mungkin mereka mengatakan hal seperti itu?
Ratusan tahun mungkin berhala itu bagaikan bulan bertahan.
Hatiku adalah busur untuk anak panah duka citanya.
Didalam debu ambang pintunya hatiku mati dengan manis.
Ya Tuhan, siapakah yang berdoa hingga debunya menjadi manis!
Situasi analogi terjadi didalam dunia inderawi. Katakan misalnya terdapat dua orang yang tidur diatas ranjang. Salah satu diantara mereka bermimpi dia berada di taman surga dikelilingi gadis cantik, sedangkan yang lainnya melihat dirinya diantara naga, kalajengking dan kelompok-kelompok jahat neraka. Jika engkau mencoba melihat, tidak satupun dikeduanya yang bisa kau lihat. Kenapa hal itu mesti mengherankan, ada sejumlah orang yang menikmati ketenangan, terbaring didalam kuburan, sedangkan yang lain berada dialam siksaan, derita dan pemeriksaan? Engkau tidak dapat melihat satu atau yang lainnya. Maka dapat dipahami, apa-apa yang tidak dapat terpahami menjadi terpahami melalui kiasan dan kiasan itu dapat sama dengan persamaan yang paralel.
Seorang mistik bisa jadi menyebut keadaan ramah yang menyenangkan dengan “musim semi” dan menyebut keadaan yang menyesakkan dan menyedihkan dengan “musim gugur”, tetapi didalam bentuk apa kenikmatan yang mirip dengan musim semi dan duka seperti apa yang sama dengan musim gugur? Itu hanyalah kiasan dan tanpa kiasan, pikiran tidak mampu untuk membayangkan atau memahami suatu wacana.
Tuhan berkata, “Yang buta dan yang melihat tentu tidak sejajar, tidak pula kegelapan dan cahaya, tidak pula bayang-bayang dan angin membakar”. (QS.35:19-21). Dengan ayat ini Dia menyerupakan iman dengan cahaya dan kekafiran dengan kegelapan, iman dengan bayang-bayang lembut dan kekafiran dengan sinar matahari tanpa ampun yang memanggang otak. Tetapi bagaimana mungkin kecerahan rahmat iman mirip dengan cahaya dari dunia lain atau keburukan kegelapan kekafiran serupa dengan kesuraman dunia ini?
Apabila ada seseorang ayng tertidur sebentar sementara kita berbincang, tidurnya bukan karena rasa ketidakpedulian tetapi lebih karena rasa keamanan. Persis seperti kafilah berjalan ditengah malam gelap melewati jalan yang sukar, menakutkan dan dipenuhi ketakutan terhadap adanya serangan perampok. Begitu orang di kafilah mendengar anjing melolong atau ayam jago berkokok, mereka tahu bahwa mereka telah mencapai situasi yang aman dan tenteram, tempat pikiran mereka menjadi lebih tenang, tempat mereka dapat melemaskan otot dan tidur dengan aman. Pada jalan terbuka, tempat dimana tidak ada suara atau keributan halaman pekarangan, mereka takut untuk tidur. Didalam ketenteraman, tempat dimana keamanan terjamin, mereka dapat tidur dengan damai dan aman meskipun ditengah lolongan anjing dan kokokan ayam jago.
Kata-kata kami juga muncul dari warisan situasi yang aman. Kata-kata kami adalah laporan para nabi dan orang suci. Ketika ruh jadi akrab dengan kata-kata ini, mereka akan merasa aman. Mereka terlepas dari ketakutan karena dari kata-kata yang menghembuskan aroma harapan yang baik.
Katakanlah, misalnya ada seseorang didalam kafilah pada malam gelap. Dia merasa sangat takut hingga terus menerus membayangkan akan menyerang kafilah. Dia ingin mendengar dan mengenal suara sahabat seperjalanannya. Ketika mendengar suara mereka, dia merasa aman.
“Katakan, ‘Bacalah wahai Muhammad,’ karena hakikatmu lembut dan tidak dapat dicapai pandangan. Tetapi ketika engkau berbicara, manusia memahami bahwa engkau akrab dengan ruh dan dengan demikian mereka akan merasa aman dan tenang”.
Tubuh demikian merana.
Nyaris tidak pernah menunjukkan bahwa aku seorang laki-laki.
Apabila tidak karena kenyataan bahwa aku menunjukkanmu.
Engkau tidak akan melihat aku.
Dilapangan yang luas dan hamparan perkebunan ada seekor binatang sangat kecil yang tak bisa terlihat. Ia hanya bisa “terlihat” melalui suaranya, ketika ia bersuara. Itu untuk mengatakan bahwa manusia terasing di lapangan dunia ini. Dan inti manusia terlalu halus untuk dapat dilihat. Maka bicaralah, sehingga mereka bisa mengenalmu.
Ketika engkau berhasrat pergi ke suatu tempat, hatimu berangkat lebih dahulu, melihat tempat tujuanmu dan seperti apa nampaknya, kemudian ia kembali untuk membawa tubuh kesana. Semua manusia, dalam hubungannya dengan nabi-nabi dan orang-orang suci, adalah tubuh, sedangkan mereka adalah “hati” dunia ini. Pertama, mereka keluar dari kemanusiaannya, daging dan tubuhnya, berjalan menuju dunia lain. Kemudian mereka memperhatikan dunia sini dan dunia sana, serta mengamati beberapa jalan masuk ke dunia sana. Kemudian mereka kembali ke dunia sini dan mengajak manusia seraya berkata, “Datanglah ke dunia yang sesungguhnya, dunia murni. Dunia sini adalah fana, sampai persinggahan. Kami telah menemukan titik kepastian dan datang untuk mengabarimu”.
Dengan begitu, dapat dipahami bahwa hati selalu tertarik kepada sang kekasih dalam setiap keadaan. Tak perlu melintasi berbagai kelompok, menakuti jalan pintas manusia atau menderita dalam hidup. Sungguh kasihan seonggok tubuh yang terikat dengan benda-benda.
Untuk siapa pelayanmu dalam penderitaan?”
“Engkau salah menilau,” sang hati menimpali.
Aku tetap dalam pelayanan.
Engkaulah yang telah berjalan dalam kehampaan.
Dimanapun engkau berada dan didalam keadaan apapun, berusahalah dengan sungguh-sungguh untuk menjadi seorang pecinta. Ketika cinta datang dan menjadi milikmu, engkau akan selalu menjadi pencinta, didalam kuburan, saat kebangkitan, di surga, selamanya menjadi pencinta. Ketika engkau menanam gandum, yakinlah bahwa gandum akan tumbuh. Dan bahwa gandum akan tetap sama, baik didalam lumbung ataupun didalam oven.
Majnun ingin menulis surat kepada Layla. Dia mengambil pena dan menulis bait ini :
Bayanganmu berada dalam mataku, namamu dalam mulutku.
Ingatan kepadamu ada dalam hatiku.
Di mana lagi aku harus menulis?
Yakni, bayanganmu tinggal didalam mataku, namamu tidak pernah lepas dari mulutku, ingatanmu memiliki tempatnya dikedalaman jiwaku. Karena engkau bebas berkelana ditempat-tempat ini, kemana lagi aku haru mengalamatkan surat? Majnun mematahkan penanya dan menyobek-nyobek kertas.
Banyak orang yang hatinya dipenuhi kata-kata seperti ini tidak mampu untuk mengungkapkannya secara lisan. Cinta tidak bisa hilang karena ketidakmampuan pengungkapan karena cinta adalah bagian utama dalam hati. Seorang anak kecil menerima susu dan susu menjadi makanannya. Meski demikian, dia tidak dapat menjelaskan apa susu itu sebenarnya. Meskipun jiwanya menghasratkan susu, mustahil dia mampu mengungkapkan dengan lisan kepuasan yang diperoleh dari meminum susu atau bagaimana dia menderita apabila dihalangi dari susu. Orang dewasa dapat menjelaskan dan menerangkan tentang susu dalam ribuan cara berbeda, tetapi hal itu tidak membawa kepuasan atau kenikmatan untuknya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Yoga-Kundalini Upanishad Bab III
1. Melana-Mantra: Hrim, Bham, Sam, Pam, Pham, Sam, Ksham. Kelahiran teratai (Brahma) berkata: “O Shankara, (di antara) bulan baru (hari pert...
-
Burung Derkuku diam sejenak, kemudian bertanya lagi seperti ini: Perkutut, masih ada satu masalah yang belum begitu paham dalam pikiranku, y...
-
Sutra 1.1 Penjelasan Yoga. Sutra 1.2 Yoga adalah pengendalian aktifitas mental. Sutra 1.3 Kemudian kesadaran berdiam dalam bentuknya yang es...
-
Ketika seseorang memutuskan untuk berjalan kesebuah tempat, dia memiliki pikiran rasional, misalnya, “Apabila aku pergi kesana, kepergianku ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar