"Apabila engkau ‘menemukan’, atau mewarisi dari ayahmu koin receh palsu, terpudarkan, tidak berharga, tidakkah engkau ingin menukarkannya dengan emas yang murni? Atau maukah engkau menjaga yang palsu dan mengatakan, “Kami menemukannya dalam keadaan seperti itu?’ Apabila engkau ditinggalkan dengan tangan pincang tetapi kemudian menemukan dokter atau obat yang dapat menyembuhkannya, tidakkah engkau akan mengambil obat itu? Atau akankah engkau mengatakan, ‘Aku menemukan tanganku demikian, pincang, dan aku tidak ingin mengubahnya? Apabila engkau menemukan air payau di dalam kampung tempat ayahmu meninggal dan tempat engkau tumbuh, namun kemudian di bawa ke kampung lain yang airnya baik, sayurannya bagus, dan orang-orangnya sehat, tidakkah engkau ingin pindah ke sana dan meminum air segar hingga penyakit dan musibah akan meninggalkanmu? Atau akankah engkau mengatakan, “Kami menemukan kampung ini dan air payaunya yang mewariskan penyakit. Maka, kami akan berpegang teguh pada apa yang telah kami temukan?”
Tidak seorangpun akan melakukan perbuatan semacam itu. Tidak seorang pun yang memiliki nalar dan indera akan mengatakan hal seperti itu. Tuhan memberi pikiran, pandangan, dan perbedaan yang terpisah dari ayahmu. Kenapa kemudian engkau menganggap pikiranmu dan pandanganmu sendiri sebagai bukan apa-apa dan mengikuti pikiran yang akan menghancurkan engkau dan tidak membawamu menuju keselamatan?
Ayah Yutash adalah pembuat sepatu, tetapi ketika mencapai istana sultan dia mempelajari perilaku raja. Dia diberi kedudukan tinggi, dia tidak mengatakan, “Kami melihat ayah kami seorang pembuat sepatu. Kami memang tidak menginginkan kedudukan ini. Sultan, beri saya toko di dalam pasar hingga saya mampu mempraktikkan bagaimana membuat sepatu”.
Bahkan seekor anjing, dengan seluruh kehinaanya, ketika dia belajar berburu untuk Sultan, melupakan yang diwarisi dari ayahnya, misalnya hidup didalam tumpukan sampah dan tempat terpencil dan menginginkan daging bangkai. Dia mengikuti kuda raja dalam perburuan dan permainannya. Demikian pula elang, sekali dia pernah dilatih oleh raja, tidak akan mengatakan, “Kami mewarisi pegunungan tebing terjal dan memakan benda mati dari ayah kami. Kami tidak akan mempedulikan genderang raja atau perburuannya.”
Apabila binatang cukup cerdas untuk berpegang teguh pada yang ditemukannya lebih baik daripada yang diwarisi ayahnya. Maka akan menjadi suatu hal yang konyol dan tidak mengenakkan manusia, yang lebih unggul dari seluruh makhluk bumi karena memiliki nalar dan kemampuan untuk membedakan – dan dia tetap berpegang pada warisan dari ayahnya. Dia akan menjadi lebih hina dari binatang.
-Kutipan dari "Fihi Ma Fihi" Jalaludin Rumi