Minggu, 12 Juni 2016

BANYAK JALAN MENUJU ROMA

"Sekalipun jalan itu banyak, tujuannya hanyalah satu. Tidakkah engkau lihat banyak jalan menuju Ka'bah? Untuk sebagian orang, jalan itu dari Roma, untuk sebagian dari Suriah, untuk sebagian dari Persia, untuk sebagian dari Cina, untuk sebagian melalui laut dari India dan Yaman. Begitulah jika engkau memperhatikan jalan. Perbedaan sangat besar dan pertentangan tak ada batasnya. Tetapi jika engkau memperhatikan tujuan, mereka semua sepakat dan satu. Hati mereka bersatu di atas Ka'bah". 

-Fihi Ma Fihi Rumi


Sehubungan dengan kepicikan beragama, Rumi menulis dalam kitab Matsnawi:


"Adalah seekor gajah di rumah yang gelap.
Beberapa orang Hindu membawanya untuk dipertunjukkan.....
Karena tidak bisa melihat dengan mata, maka setiap orang merabanya dengan tangan. 
Seseorang yang tangannya menyentuh belalai berkata, "Makhluk ini seperti pipa air".
Seseorang yang tangannya menyentuh telinga berkata, “Makhluk ini seperti kipas”.
Seseorang yang tangannya menyentuh kaki berkata, ”Sepertinya makhluk ini seperti sebuah tiang".
Seseorang yang lain tangannya menyentuh punggung dan berkata "Rasanya gajah ini menyerupai
singgasana".

Setelah masing-masing memasang lilin di tangannya, perbedaanpun lenyap.


-Matsnawi Rumi

Rabu, 08 Juni 2016

ISI LEBIH UTAMA DARIPADA WADAH

“Yang tercinta” akan selalu terlihat indah bagi yang mencintainya. Tapi pernyataan itu tidak bisa dibalik, tidak setiap keindahan akan selalu dicintai. Keindahan merupakan bagian dari “yang tercinta”. “Yang tercinta” adalah bagian yang utama. Jika cinta telah melingkupi “Yang tercinta” maka keindahan akan mengikutinya dan menjadi bagian dari “yang tercinta”. Bagian dari suatu hal tidak dapat dipisahkan dari keseluruhannya. Bagian mesti menyinggung keseluruhan.

Ketika Majnun mencintai Layla, kala itu ada banyak gadis yang lebih cantik daripada Layla. Tetapi Majnun tak mencintai mereka. Ketika dikatakan padanya, “Ada banyak gadis yang lebih cantik daripada Layla, biarkan kami memperlihatkannya kepadamu”. Dia menjawab, “Aku tidak mencintai Layla karena bentuk luarnya. Layla bukan bentuk luar, dia bagaikan piala yang aku genggam dan dari sana aku meminum anggur, aku mencintai anggur yang aku minum. Engkau hanya melihat piala dan tidak menyadari keberasaan anggur. Apa gunanya piala emas untukku bila piala itu hanya berisi cuka atau yang lain selain anggur? Bagiku, labu tua pecah berisi anggur akan lebih baik daripada ribuan piala seperti itu.”

Orang membutuhkan cinta dan kerinduan untuk membedakan anggur dari cangkir.

Sebagai contoh, datangkan orang lapar yang belum makan selama sepuluh hari dan seorang lagi yang sudah makan sebanyak lima kali sehari. Kemudian, suguhkan ke hadapan mereka setangkup roti. Orang yang telah makan banyak akan melihat roti itu hanyalah sebentuk roti. Sedangkan orang yang lapar melihat roti sebagai penyambung hidupnya. Bagi orang yang sudah kekekanyangan, roti itu tampak seperti cangkir baginya. Dan bagi orang lapar, roti itu bagaikan anggur dalam cangkir. Orang yang memiliki keinginan dan hasrat sajalah yang dapat melihat “anggur”. Maka untuk bisa melihat anggur, engkau harus melihatnya dengan mata simpatik dan penuh hasrat. Engkau tak lagi hanya menjadi pengamat bentuk, namun melihat hal yang nyata dari seorang kekasih. Bentuk luar manusia dan benda yang diciptakan menyerupai cangkir, dan hal-hal lain seperti pengetahuan, seni serta ilmu, adalah hiasan cangkir tersebut. Ketika gelas pecah, tidak ada sedikit pun “hiasan” yang tersisa.

-Kutipan dari "Fihi Ma Fihi" Jalaludin Rumi

Selasa, 07 Juni 2016

HAMBA TUHAN

Ungkapan “Aku adalah Tuhan” bukanlah pengakuan atas keagungan, melainkan suatu kerendahan hati yang total. Seseorang yang berkata “Aku adalah hamba Tuhan” menyebutkan dua keberadaan, dirinya dan Tuhan, sedangkan ungkapan “Aku adalah Tuhan” berarti peniadaan diri, yakni dia menyerahkan keberadaan dirinya sebagai kekosongan (non-ekssistensi).

Dikatakan “Aku adalah Tuhan” bermakna : “Aku tidak ada, segala sesuatu adalah Dia. Keberadaan adalah Tuhan sendiri, aku bukan keberadaan sama sekali, bukan apa-apa”. Pernyataan ini begitu luar biasa, lebih dari pengakuan terhadap keagungan apa pun, sayangnya banyak yang tidak memahami. Ketika manuisa menyadari penghambaannya kepada Tuhan, dia sadar atas perbuatannya sebagai hamba. Penghambaan ini bisa jadi memang ditujukan pada Tuhan. Namun dia masih memandang diri dan perbuatannya setara dengan melihat Tuhan. Ini berarti dia tidak “tenggelam”, tenggelam adalah dia yang dalam dirinya tidak memiliki gerakan atau perbuatan, kecuali digerakkan oleh perubahan air.

Seekor singa menangkap rusa. Rusa berusaha melarikan diri dari singa. Ada dua keberadaan di sana, singa dan rusa. Ketika singa menangkap rusa dan rusa pingsan dalam ancaman cakar singa, maka yang tersisa hanya keberadaan singa, rusa jadi terlenyapkan.

-Kutipan dari "Fihi Ma Fihi" Jalaludin Rumi

HARI KEBANGKITAN

Suatu hari Atabeg berkata, “Orang kafir Yunani telah menyarankan kami menikahkan putri kami kepada kaum Tartar, sehingga agamanya menjadi satu dan agama Islam akan lenyap.”

“Pernahkah Agama menjadi satu, yang terjadi agama selalu terpecah menjadi dua atau tiga, dan perang selalu berkecamuk di antara sesama pemeluk agama. Bagaimana mungkin engkau menyatukan agama? Pada Hari Kebangkitan, semuanya akan dipersatukan, tetapi di sini, di dunia ini, mustahil agama-agama menjadi satu karena setiap orang memiliki hasrat dan keinginan berbeda. Penyatuan tidak mungkin terjadi di sini. Meski pun demikian, pada Hari Kebangkitan nanti, ketika segalanya menjadi satu, setiap orang akan melihat pada satu hal, mendengar dan membicarakan satu hal”.

Ada berbagai macam hal dalam diri manusia. Dia adalah seekor tikus dan dia juga seekor burung. Kadang-kadang burung mengangkat kurungannya, kemudian tikus menariknya kembali ke bawah. Ada ribuan binatang lain di dalam diri manusia, sampai dia maju pada titik tempat tikus melenyapkan
“ketikusannya” dan burung melenyapkan “keburungannya”. Semua akan disatukan, karena pencarian sasaran tidak ke atas ataupun ke bawah. Ketika sasaran ditemukan, tidak ada “atas” dan “bawah”. Ketika seseorang kehilangan sesuatu, dia mencarinya ke segala arah – kiri dan kanan, atas dan bawah, kesana kemari, ke segala arah. Dan ketika benda yang hilang itu telah ditemukan, dia akan menghentikan pencariannya. Pada hari kebangkitan nanti, setiap orang akan melihat dengan satu mata, berbicara dengan satu lidah, mendengar dengan satu telinga, dan menyerap dengan satu indera.

Hal itu seperti sepuluh orang yang bersama-sama memiliki taman atau toko. Mereka berbicara tentang satu hal, khawatir tentang satu hal, dan disibukkan dengan satu hal. Ketika barang yang dicari telah ditemukan, seluruhnya akan disatukan dengan cara serupa ini.

-Kutipan dari "Fihi Ma Fihi" Jalaludin Rumi

KATA-KATA HANYALAH PAKAIAN, MAKNALAH YANG UTAMA

Seorang penyair bahasa Arab suatu ketika berhadapan dengan seorang raja yang tidak mengetahui bahasa Arab. Penyair  menggubah syair yang banyak dipenuhi kiasan dalam bahasa Arab untuk raja. Sang penyair beranjak maju dan mulai mengucapkan puisinya. Pada bagian yang menimbulkan kekaguman, Raja menganggukkan kepalanya, pada bagian yang membangkitkan ketakjuban, dia memandang dengan pandangan yang takjub, dan pada bagian yang membangkitkan kerendahan hati, raja memperhatikannya dengan kerendahan.

Para menteri kebingungan dan berkata : “Raja kita tidak pernah tahu bahasa Arab sepatah kata pun. Bagaimana mungkin dia menganggukkan kepalanya pada saat yang tepat, kecuali benar-benar memahami bahasa Arab dan menyembunyikannya dari kita semua selama bertahun-tahun? Apabila kita pernah berkata tidak sopan di dalam bahasa Arab, sengsaralah kita!”

Saat itu raja memiliki seorang budak lelaki yang mendapatkan hak amat istimewa. Pegawai-pegawai istana pergi kepadanya lalu memberinya seekor kuda, unta, dan sejumlah uang. Mereka berjanji akan memberi sebanyak itu lagi apabila si budak bisa mengetahui apakah raja paham bahasa Arab atau tidak. Sebab, bila raja tidak memahami bahasa Arab, bagaimana mungkin dia menggelengkan kepala pada saat tepat? Apakah itu keajaiban atau ilham? Suatu hari budak itu menemukan suatu saat yang tepat. Saat itu raja sedang berburu. Karena terlalu asyik berburu, dia keasyikan dalam berburunya. Si budak tahu kondisi raja sedang senang maka dia menanyai raja.

Raja tertawa dan berkata, “Demi Tuhan, aku sama sekali tidak tahu bahasa Arab. Aku menganggukkan kepala dan menyatakan kesepakatan, benar-benar disebabkan maksud yang terkandung dalam puisi itu.” Dari cerita itu nyatalah bahwa “Hal yang utama” adalah maksud. Puisi hanyalah “Cabang” dari “yang utama”. Apabila tidak ada maksud, dia tidak akan pernah menggubah
puisi.

Jika seseorang telah mengutamakan maksud, tak ada lagi ke-dua-an tersisa. Ke-dua-an terletak di dalam cabang, sedangkan akarnya yang paling utama tetap satu. Fenomena semacam itu dapat ditemukan dalam sosok guru-guru spiritual. Tampak dari luar mereka berbeda satu sama lain. Dan tampak juga perbedaan yang muncul dalam keadaan, perbuatan, dan perkataan. Tapi perbedaan-perbedaan tersebut berpulang pada inti yang sama yaitu pencarian Tuhan. Persis seperti angin yang berhembus melalui rumah, dia mengangkat satu sudut karpet dan mengibarkan tikar, menyebabkan debu terbang ke dalam udara, meriakkan air di dalam kolam, dan menyebabkan cabang dan dedaunan pohon berderai. Semua hal itu tampak jadi amat berbeda, padahal dari titik pandang maksud, prinsip, dan realitas mereka semuanya satu. Karena gerakan mereka semuanya berasal dari satu angin yang berhembus.

-Kutipan dari "Fihi Ma Fihi" Jalaludin Rumi

TUBUH DAN JIWA SEBAGAI AMANAT

Atabeg berkata : “Keagungan apakah yang telah membuat Maulana menghargaiku?” Aku tidak pernah mengharapkan ini. Pikiran ini tidak pernah terlintas pada pikiranku, karena aku hanya layak untuk berdiri rendah hati, siang dan malam, di antara jajaran mereka yang siap melayaninya. Aku masih belum layak untuk penghargaan itu. Keagungan macam apakah ini?”

Guru menjawab : “Orang ini adalah salah satu dari kalian yang memiliki cita-cita mulia. Tidak peduli betapa tinggi derajat yang engkau capai, tidak peduli betapa penting dan terpuji apa-apa yang engkau perhatikan. Cita-citamu yang paling mulia, engkau menganggap dirimu tidak sempurna; tidak puas dengan dirimu dan berpikir masih memiliki jalan panjang untuk dilalui. Meskipun hati kita pernah melayani Tuhan, tetapi kita masih mengharapkan pengharapan resmi karena bentuk luar yang terpisah dari isi.”

Seperti benda yang tanpa isi, dia tidak dapat dipengaruhi. Dia juga tidak dapat dipengaruhi tanpa bentuk. Seperti biji yang apabila engkau sebar tanpa kulitnya, biji itu tidak akan tumbuh. Tetapi apabila engkau menanamnya pada tanah bersamaan dengan kulitnya dia akan tumbuh menjadi pohon
yang mengagumkan. Atas dasar ini, tubuh pun sama pentingnya secara prinsip. Karena tanpa itu tidak ada kerja yang mampu dipengaruhi, tidak pula tujuan akan tercapai. Demi Tuhan, mata orang-orang yang telah mengetahui makna hakiki dan dia menjadi makna hakiki, dia akan mengetahui bahwa hal yang paling penting adalah makna hakikat.

-Kutipan dari "Fihi Ma Fihi" Jalaludin Rumi

KEHIDUPAN BERJENJANG, BEGITU PULA JIWA

"Apabila engkau ‘menemukan’, atau mewarisi dari ayahmu koin receh palsu, terpudarkan, tidak berharga, tidakkah engkau ingin menukarkannya dengan emas yang murni? Atau maukah engkau menjaga yang palsu dan mengatakan, “Kami menemukannya dalam keadaan seperti itu?’ Apabila engkau ditinggalkan dengan tangan pincang tetapi kemudian menemukan dokter atau obat yang dapat menyembuhkannya, tidakkah engkau akan mengambil obat itu? Atau akankah engkau mengatakan, ‘Aku menemukan tanganku demikian, pincang, dan aku tidak ingin mengubahnya? Apabila engkau menemukan air payau di dalam kampung tempat ayahmu meninggal dan tempat engkau tumbuh, namun kemudian di bawa ke kampung lain yang airnya baik, sayurannya bagus, dan orang-orangnya sehat, tidakkah engkau ingin pindah ke sana dan meminum air segar hingga penyakit dan musibah akan meninggalkanmu? Atau akankah engkau mengatakan, “Kami menemukan kampung ini dan air payaunya yang mewariskan penyakit. Maka, kami akan berpegang teguh pada apa yang telah kami temukan?”


Tidak seorangpun akan melakukan perbuatan semacam itu. Tidak seorang pun yang memiliki nalar dan indera akan mengatakan hal seperti itu. Tuhan memberi pikiran, pandangan, dan perbedaan yang terpisah dari ayahmu. Kenapa kemudian engkau menganggap pikiranmu dan pandanganmu sendiri sebagai bukan apa-apa dan mengikuti pikiran yang akan menghancurkan engkau dan tidak membawamu menuju keselamatan?

Ayah Yutash adalah pembuat sepatu, tetapi ketika mencapai istana sultan dia mempelajari perilaku raja. Dia diberi kedudukan tinggi, dia tidak mengatakan, “Kami melihat ayah kami seorang pembuat sepatu. Kami memang tidak menginginkan kedudukan ini. Sultan, beri saya toko di dalam pasar hingga saya mampu mempraktikkan bagaimana membuat sepatu”.

Bahkan seekor anjing, dengan seluruh kehinaanya, ketika dia belajar berburu untuk Sultan, melupakan yang diwarisi dari ayahnya, misalnya hidup didalam tumpukan sampah dan tempat terpencil dan menginginkan daging bangkai. Dia mengikuti kuda raja dalam perburuan dan permainannya. Demikian pula elang, sekali dia pernah dilatih oleh raja, tidak akan mengatakan, “Kami mewarisi pegunungan tebing terjal dan memakan benda mati dari ayah kami. Kami tidak akan mempedulikan genderang raja atau perburuannya.”

Apabila binatang cukup cerdas untuk berpegang teguh pada yang ditemukannya lebih baik daripada yang diwarisi ayahnya. Maka akan menjadi suatu hal yang konyol dan tidak mengenakkan manusia, yang lebih unggul dari seluruh makhluk bumi karena memiliki nalar dan kemampuan untuk membedakan – dan dia tetap berpegang pada warisan dari ayahnya. Dia akan menjadi lebih hina dari binatang.

-Kutipan dari "Fihi Ma Fihi" Jalaludin Rumi

Yoga-Kundalini Upanishad Bab III

1. Melana-Mantra: Hrim, Bham, Sam, Pam, Pham, Sam, Ksham. Kelahiran teratai (Brahma) berkata: “O Shankara, (di antara) bulan baru (hari pert...