Selasa, 07 Juni 2016

KATA-KATA HANYALAH PAKAIAN, MAKNALAH YANG UTAMA

Seorang penyair bahasa Arab suatu ketika berhadapan dengan seorang raja yang tidak mengetahui bahasa Arab. Penyair  menggubah syair yang banyak dipenuhi kiasan dalam bahasa Arab untuk raja. Sang penyair beranjak maju dan mulai mengucapkan puisinya. Pada bagian yang menimbulkan kekaguman, Raja menganggukkan kepalanya, pada bagian yang membangkitkan ketakjuban, dia memandang dengan pandangan yang takjub, dan pada bagian yang membangkitkan kerendahan hati, raja memperhatikannya dengan kerendahan.

Para menteri kebingungan dan berkata : “Raja kita tidak pernah tahu bahasa Arab sepatah kata pun. Bagaimana mungkin dia menganggukkan kepalanya pada saat yang tepat, kecuali benar-benar memahami bahasa Arab dan menyembunyikannya dari kita semua selama bertahun-tahun? Apabila kita pernah berkata tidak sopan di dalam bahasa Arab, sengsaralah kita!”

Saat itu raja memiliki seorang budak lelaki yang mendapatkan hak amat istimewa. Pegawai-pegawai istana pergi kepadanya lalu memberinya seekor kuda, unta, dan sejumlah uang. Mereka berjanji akan memberi sebanyak itu lagi apabila si budak bisa mengetahui apakah raja paham bahasa Arab atau tidak. Sebab, bila raja tidak memahami bahasa Arab, bagaimana mungkin dia menggelengkan kepala pada saat tepat? Apakah itu keajaiban atau ilham? Suatu hari budak itu menemukan suatu saat yang tepat. Saat itu raja sedang berburu. Karena terlalu asyik berburu, dia keasyikan dalam berburunya. Si budak tahu kondisi raja sedang senang maka dia menanyai raja.

Raja tertawa dan berkata, “Demi Tuhan, aku sama sekali tidak tahu bahasa Arab. Aku menganggukkan kepala dan menyatakan kesepakatan, benar-benar disebabkan maksud yang terkandung dalam puisi itu.” Dari cerita itu nyatalah bahwa “Hal yang utama” adalah maksud. Puisi hanyalah “Cabang” dari “yang utama”. Apabila tidak ada maksud, dia tidak akan pernah menggubah
puisi.

Jika seseorang telah mengutamakan maksud, tak ada lagi ke-dua-an tersisa. Ke-dua-an terletak di dalam cabang, sedangkan akarnya yang paling utama tetap satu. Fenomena semacam itu dapat ditemukan dalam sosok guru-guru spiritual. Tampak dari luar mereka berbeda satu sama lain. Dan tampak juga perbedaan yang muncul dalam keadaan, perbuatan, dan perkataan. Tapi perbedaan-perbedaan tersebut berpulang pada inti yang sama yaitu pencarian Tuhan. Persis seperti angin yang berhembus melalui rumah, dia mengangkat satu sudut karpet dan mengibarkan tikar, menyebabkan debu terbang ke dalam udara, meriakkan air di dalam kolam, dan menyebabkan cabang dan dedaunan pohon berderai. Semua hal itu tampak jadi amat berbeda, padahal dari titik pandang maksud, prinsip, dan realitas mereka semuanya satu. Karena gerakan mereka semuanya berasal dari satu angin yang berhembus.

-Kutipan dari "Fihi Ma Fihi" Jalaludin Rumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yoga-Kundalini Upanishad Bab III

1. Melana-Mantra: Hrim, Bham, Sam, Pam, Pham, Sam, Ksham. Kelahiran teratai (Brahma) berkata: “O Shankara, (di antara) bulan baru (hari pert...