Semua orang yang berpikiran sehat lebih memilih untuk menghindari perdebatan, tetapi ada saat dimana kita harus berkata “tidak”. Ada saat dimana kita harus meminta apa yang menjadi hak kita, mempertahankan sesuatu yang menjadi milik kita, menyetujui atau mendebat sesuatu, entah karena resiko kita akan kehilangan materi, atau karena integritas kita akan terancam.
Saat kita berkata “tidak”, tak dapat dipungkiri lagi kita akan membuat seseorang tidak senang, sebab artinya kita menentangnya, atau menolak orang tersebut dan permintaannya. Dalam dunia kita yang abstrak, sebuah ide dapat menyimbolkan pemilik ide tersebut, sehingga apabila kita menolak ide tersebut seakan kita menolak sang pemilik ide. Jika kita berkata “tidak”, kita harus menghadapi kemungkinan merasa tidak disukai, meski sehalus apapun kita menyampaikannya. Selain itu, sebagai seorang yang beradab kita akan mengalami rasa tidak nyaman, empatik dalam diri sendiri jika kita merasa telah mengecewakan orang lain, meski sesungguhnya kita tidak ingin menolaknya atau membuatnya kecewa -semua karena kita berkata “tidak”.
Jika kita bertahan dengan ide atau posisi kita, kita bisa kehilangan cinta kasih dan penerimaan, jika kita melepaskannya, kita akan kehilangan sebagian dari diri kita. Ini menimbulkan rasa tidak suka pada kebanyakan orang terhadap suau argument, dari manapun kita melihatnya, kita akan kehilangan sesuatu.
Berkata “ya” disaat semestinya kita berkata “tidak” bukanlah suatu tindakan spontan. Pada saat kita mengatakannya, kita merasakan adanya imbalan karena menyetujui bukannya menolak. Dengan berkata “ya” kita seakan menawarkan sebuah hadiah. Saat kita memberi, kita mendapatkan perasaan kebajikan, cinta kasih dan penerimaan. Perasaan ini hadir bersama perasaan murah hati dan perasaan telah bertindak sebagai seorang yang menyenangkan.
Jika kita berkata “ya” walapun sesungguhnya kita lebih memilih berkata “tidak”, kita juga berusaha mengurangi rasa bersalah akibat menolak seseorang, atau berusaha agar kita sendiri tidak ditolak. Walaupun tindakan ini bukanlah sesuatu yang rasional, ekonomis atau cerdas, pada satu tingkatan kesadaran kita, kita merasa telah melakukan hal yang benar, dan karenanya kita melakukannya. Bagaikan seorang pecandu obat terlarang, kita memilih untuk menghilangkan rasa gelisah kita sekarang, dan memikirkan konsekwensinya belakangan.
Kalaupun kita menyerah untuk menghindari konflik, sayangnya konfliknya tidak akan lenyap begitu saja. Ia akan tetap ada dalam bentuk argument didalam pikiran kita. Apabila kita menyerah demi mendapatkan persetujuan orang lain, kemungkinannya kecil kalau kita akan mendapatkan cinta kasih dan terima kasih sebagaimana yang kita rasa pantas untuk didapatkan setelah pengorbanan yang kita berikan. Akibatnya kita akan merasa telah dimanfaatkan. Merasa telah dimanfaatkan adalah kepanjangan dari kegagalan berkata “tidak”
Kemampuan untuk berkata “tidak”tanpa bersikap agresif menunjukkan kita meyakini nilai kita sebagai manusia dewasa dan kepribadian kita.
- An Intelligent Life, Julian Short
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Yoga-Kundalini Upanishad Bab III
1. Melana-Mantra: Hrim, Bham, Sam, Pam, Pham, Sam, Ksham. Kelahiran teratai (Brahma) berkata: “O Shankara, (di antara) bulan baru (hari pert...
-
Burung Derkuku diam sejenak, kemudian bertanya lagi seperti ini: Perkutut, masih ada satu masalah yang belum begitu paham dalam pikiranku, y...
-
Inti ajaran saya yang esensial adalah: tanpa kepercayaan, tanpa dogma, tanpa iman, tanpa agama, tidak ada yang dipinjam (diambil dari ajara...
-
Sutra 1.1 Penjelasan Yoga. Sutra 1.2 Yoga adalah pengendalian aktifitas mental. Sutra 1.3 Kemudian kesadaran berdiam dalam bentuknya yang es...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar