Seseorang datang kepada Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq dan berkata : “Aku telah mendengar pujian mengenai dirimu dari seseorang”.
“Biarlah aku tahu,” Sayyid menjawab,” orang seperti apa dirinya. Apakah dia telah mencapai derajat sedemikian rupa sehingga bisa mengetahui dan memujiku. Apabila dia mengetahui diriku atas apa yang telah kukatakan maka sesungguhnya dia tidak mengetahuiku karena perkataan tidaklah tetap (sementara), bebunyian sementara, bibir dan mulutpun sementara. Semua itu kebetulan. Apabila dia mengetahui atas apa yang aku lakukan, kejadiannya juga akan sama saja. Namun jika dia memahami inti diriku, dan kemudian aku tahu bahwa dia mampu memujiku, maka pujian tersebut memang menjadi hakku.”
Ini seperti cerita yang mereka ceritakan tentang seorang raja yang mempercayakan putranya kepada sekelompok manusia terlatih. Si anak tetap bertahan hingga mereka telah mengajarinya seluruh ilmu astronomi, geometri, dan ilmu pengetahuan lain, meskipun si anak sungguh-sungguh bodoh dan bebal. Suatu hari raja mengambil dan menggenggam cincin dalam kepalan tangannya, untuk menguji anaknya. Raja berkata : “Ayo, katakan padaku benda yang aku genggam didalam kepalanku!”
“Yang Engkau genggam.” Anak itu menjawab,” adalah benda bulat, kuning, dan memiliki lubang di tengahnya.”
“Karena engkau mampu menjelaskannya dengan benar,” kata raja,”katakan padaku benda apa ini sebenarnya!”
“Pasti itu sebuah batu gerinda,” jawab sang anak.
“Kau telah memberikan ciri-cirinya demikian tepat dengan pikiran yang amat mengejutkan! Dengan seluruh pendidikan dan pengetahuan yang telah engkau peroleh, bagaimana mungkin keluar dari pikiranmu batu gerinda yang tidak dapat digenggam oleh sebelah tangan?”
Maka, seperti itulah sekarang orang terpelajar pada zaman kita, dengan ajaib memahami ilmu pengetahuan. Mereka telah sempurna belajar memahami seluruh hal asing yang bukan merupakan perhatian mereka. Yang benar-benar penting dan terkait dari semua hal tersebut adalah dirinya sendiri. Tetapi betapa orang-orang terpelajar tidak mengetahuinya. Mereka melulu menghabiskan waktunya pada penilaian kehalalan dan keharaman segala sesuatu, dan berkata : “Ini dihalalkan dan ini tidak,” atau “Ini disyahkan hukum, dan ini tidak. Meski demikian, kebundaran, kekuningan dan kebulatan dari cincin raja adalah kebetulan, karena apabila engkau melemparkannya kedalam api tidak satu pun dari seluruh hal itu tersisa. Dia menjadi inti sarinya, terbebas dari semua ciri-ciri itu. Seluruh ilmu pengetahuan, amal, dan perkataan mereka letakkan didepan, semuanya tidak memiliki hubungan dengan intisari bendanya, yang akan tetap ada ketika seluruh sifat fisiknya sirna. Seperti halnya seluruh sifat dari yang mereka katakan dan mereka uraikan. Pada akhirnya mereka akan membuat penilaian bahwa sang raja memegang batu gerinda pada kepalan tangannya, karena mereka tidak mengetahui inti yang utama dari suatu benda.
Aku adalah burung, seekor Bulbul, atau seekor Nuri, karena suaraku telah ditetapkan dan tidak dapat membuat suara lain apa pun. Jika aku diminta untuk menghasilkan bunyi lain yang berbeda, aku tidak akan mampu. Sebaliknya, terhadap hal ini adalah contoh seseorang yang belajar meniru suara burung. Dia bukan burung sama sekali. Kenyatannya, dia adalah musuh burung, seorang pemburu, tetapi dia mampu membuat burung menyahut karena menganggap suara itu sebagai suara burung. Karena bunyi yang dia buat dikira-kira dan dan tidak pantas jadi miliknya, apabila diminta, dia mampu membuat bunyi berbeda. Dia mampu membuat sahutan berbeda karena dia telah belajar “mencuri barang orang dan menunjukkan kepadamu secarik linen lain dari setiap rumah”.
-Rumi
Dalam “Burung Berkicau”, Anthony De Mello SJ, diceritakan tentang Nasrudin penjual telur yang tidak bisa mengenali telur.
Nasruddin mencari nafkah dengan menjual telur. Seseorang datang di warungnya dan berkata: 'Coba terka apa yang kugenggam ini?'
'Sebutkan ciri-cirinya!' kata Nasruddin.
'Baik! Bentuknya sama seperti telur, ukurannya sebesar telur. Kelihatannya seperti telur, rasanya seperti telur dan baunya seperti telur. Isinya berwarna kuning dan putih, cair sebelum direbus dan menjadi kental bila dimasak. Dan asalnya dari ayam betina ...'
'Nah, aku tahu!' kata Nasruddin. 'Pasti semacam kue!'
Seorang ahli mempunyai keistimewaan ini: tidak menyadari yang sudah jelas. Imam Agung punya keistimewaan: tidak menyadari kedatangan Mesias.
-Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar