Pada asal mulanya ada sesuatu dalam bentuk campuran: sunyi, senyap, kekal, tak dapat dilihat, tak dapat didengar, tak dapat diraba, tanpa rasa, tanpa kesadaran, tanpa nama. Hanya karena terpaksa maka kita menyebutnya “Jalan”. “Jalan” itu mengandung segala-galanya, semua yang bertentangan dicakup dan diselaraskannya: terang dan gelap, diam dan gerak, ada dan tiada, ia berwujud tanpa wujud, berupa tanpa rupa.
“Jalan” berjalan sebagai kodrat alam: keluar sampai pada puncaknya lalu kembali kepermukaannya. Seluruh alam berasal dari “Jalan”, mulai dari Langit dan Bumi yang bersama-sama melahirkan segala benda.
“Jalan” berdaya dengan “sakti”nya yang tak habis-habis bagaimanapun dipakai, yang meluap baik ke kiri maupun ke kanan, tanpa menuntut tanpa memaksa dengan “sakti”nya “Jalan” memupuk, mendidik, memperkembangkan, memasakkan, menyempurnakan, memelihara dan melindungi segala benda, tanpa mengambil tindakan, tapi selalu sesuai dengan wataknya masing-masing.
Bagi “Jalan” pertentangan apapun, perbedaan apapun tak berlaku: baginya putih sama dengan hitam, terang dengan gelap, tinggi dengan rendah, luas dengan sempit, sehat dengan sakit. “Jalan” melebur segala pertentangan dalam pelukannya, baginya tak ada keindahan tetapi tak ada kejelekan juga, tak ada kebaikan tetapi tak ada kejahatan juga, tak ada kemuliaan tetapi tak ada kehinaan juga, ia tak berat sebelah, ia tak memihak, ia kosong tapi justru pada kekosongannya terletak gunanya.
Manusia hidup didunia selalu tersesat dalam pertentangan. Seharusnya ia mengikuti geraknya “Jalan” dan berpedoman pada “Jalan”. Laksana Langit dan Bumi yang tidak bekerja untuk diri sendiri dan karenanya abadi. Demikian juga manusia sebaiknya jangan bertindak, jangan mendesakkan usahanya, jangan mengejar tujuan, jangan campur tangan dalam urusan orang lain, jangan memuji, jangan mencela. Sebaiknya ia melepaskan segala ukuran yang lazim dipakai didunia, meninggalkan segala macam pengetahuan yang hanya menjauhkannya dari “Jalan”, dan memilih apa yang dibenci umum, yakni kelemahan, kerendahan, keasoran.
Manusia sebaiknya kembali menjadi seperti bayi, yang belum sadar akan adanya dunia luar, yang masih minum pada ibunya, yang lemas dan lemah tetapi penuh mengandung benih kehidupan. Manusia sebaiknya mencontoh air, yang selalu memilih tempat rendah, yang terlemah diantara semua benda, tetapi dapat menembus batu yang keras. Manusia sebaiknya menjadi seperti lembah, yang sanggup menampung segala-galanya, bersih maupun kotor. Manusia dengan demikian dapat menjadi orang suci, yang tak mempunyai keinginan, yang tak dapat digoda oleh dunia, yang tak mempunyai rasa benci dan rasa takut, yang tak lagi mengejar kehidupan dan karenanya terhindar dari kematian: baginya hidup dan mati adalah sama.
Seperti orang suci itulah seharusnya pemimpin negara dan pemimpin rakyat: ia tak melakukan paksaan, tak membuat larangan, tak mengadakan aturan-aturan, tak menjalankan perikemanusiaan dan keadilan, tanpa ia bertindak semuanya teratur. Ia tak mempunyai kehendak sendiri, kehendak rakyat adalah sama dengan kehendaknya. Untuk rakyat bukan soal mata yang dipentingkan, melainkan soal perut. Ia merendahkan diri, tinggal dibelakang, tetapi karenanya ia tampil kedepan, ia tak mencari kemuliaan tetapi dengan sendirinya rakyat memuliakannya. Bahagialah negara dan rakyat yang diperintahnya: mereka tak mengenal larangan dan aturan, maka tak ada penjahat dan pengacau, mereka tak mengenal permusuhan, maka senjata-senjata tak pernah dipamerkan, mereka tak memerlukan barang aneh dan indah, maka dengan negara tetanggapun tak ada masalah, karena diperintah orang suci yang mengikuti “Jalan” maka dengan sendirinya mereka hidup selaras dengan “Jalan”, walaupun ada pemerintah mereka tak merasa adanya pemerintah.
-Tarawang Press, Tao The Ching Aplikasi dalam Kehidupan